Pages

Wednesday, November 4, 2015

PEMIKIRAN ISLAM TENTANG PLURALISME Oleh: Edi Sucipno



PEMIKIRAN ISLAM TENTANG PLURALISME
oleh Edi Sucipno

 A.    Pendahuluan
Pemikiran yang menganggap semua agama itu sama telah lama masuk ke Indonesia dan beberapa negara Islam lainnya. Tapi akhir-akhir ini pikiran itu menjelma menjadi sebuah paham dan gerakan pembaharuan yang kehadirannya serasa begitu mendadak, tiba-tiba dan mengejutkan. Umat Islam seperti mendapat kerja rumah baru dari luar rumahnya sendiri. Padahal umat Islam dari sejak dulu hingga kini telah biasa hidup di tengah kebhinekaan atau pluralitas agama dan menerimanya sebagai realitas sosial. Piagam Madinah dengan jelas sekali mengakomodir pluralitas agama saat itu dan para ulama telah pula menjelaskan hukum-hukum terkait. Apa sebenarnya dibalik gerakan ini?
Sebenarnya faham inipun bukan baru. Akar-akarnya seumur dengan akar modernisme di Barat dan gagasannya timbul dari perspektif dan pengalaman manusia Barat. Namun kalangan umat Islam pendukung paham ini mencari-cari akarnya dari kondisi masyarakat Islam dan juga ajaran Islam. Kesalahan yang terjadi, akhirnya adalah menganggap realitas kemajemukan (pluralitas) agama dan paham pluralisme agama adalah sama saja. Bahkan, pluralisme agama malah dianggap realitas dan sunnatullah. Padahal keduanya sangat berbeda.
Pluralitas agama adalah kondisi di mana berbagai macam agama wujud secara bersamaan dalam suatu masyarakat atau Negara. Sedangkan pluralisme agama suatu paham yang menjadi tema penting dalam disiplin sosiologi, teologi dan filsafat agama yang berkembang di Barat dan juga agenda penting globalisasi.
Solusi Islam terhadap adanya pluralitas agama adalah dengan mengakui perbedaan dan identitas agama masing-masing (lakum diinukum wa liya diin). Tapi solusi paham pluralisme agama diorientasikan untuk menghilangkan konflik dan sekaligus menghilangkan perbedaan dan identitas agama-agama yang ada. Jadi menganggap pluralisme agama sebagai sunnatullah adalah klaim yang berlebihan dan tidak benar.


B.     Arti Pluralitas dan Pluralisme
Pluralitas adalah kemajemukan yang didasari oleh keutamaan (keunikan) dan kekhasan.[1] Karena itu pluralitas tidak dapat terwujud atau diadakan atau terbayangkan keberadaannya kecuali sebagai antitesis dan sebagai objek komparatif  dari keseragaman dan kesatuan yang merangkum seluruh dimensinya. Tanpa adanya kesatuan yang mencakup seluruh segi, maka tidak dapat dibayangkan adanya kemajemukan, keunikan, dan kekhasan atau pluralitas itu.
Pluralitas mempunyai tingkatan-tingkatan yang ditentukan oleh faktor: “penyatu dan pengikat” yang menyatukan dan mengikat masing-masing dimensinya dalam satu kesatuan. Namun demikian, dalam kehidupan sosial keagamaan era modern sekarang ini ditandai oleh semakin seringnya pertentangan dan bentrok kultural, sosial, etnis, dan agama yang melibatkan masyarakat sipil, seperti yang terjadi di Aceh, Maluku, Poso dan Ambon dan melibatkan militer seperti yang terjadi di Kasmir, Irlandia dan Irak. Hal ini menambah alasan betapa pentingnya untuk mengembangkan dan memperkaya intensitas saling tukar menukar pengetahuan atau dialog berbagai agama (aspek doktrin) dalam kehidupan sosial keagamaan.[2]
Sedangkan pluralisme ialah paham kemajemukan atau paham yang berorientasi kepada kemajemukan yang memiliki berbagai penerapan yang berbeda dalam filsafat agama, moral, hukum dan politik yang batas kolektifnya adalah pengakuan atas kemajemukan di depan keunggulan.[3] Pluralisme agama, yang berarti bahwa hakekat dan keselamatan bukanlah monopoli satu agama tertentu. Semua agama menyimpan hakekat yang mutlak dan sangat agung.[4]
Dengan kata lain, pluralisme dapat diartikan sebagai paham yang mentoleransi adanya keragaman pemikiran, peradaban, agama, dan budaya. Bukan hanya mentoleransi adanya keragaman pemahaman tersebut, tetapi bahkan mengakui kebenaran masing-masing pemahaman, setidaknya menurut logika para pengikutnya.


C.    Latar Belakang Munculnya Gerakan Pluralisme di Indonesia
Paham ini muncul akibat reaksi dari tumbuhnya klaim kebenaran oleh masing-masing kelompok terhadap pemikirannya sendiri. Persoalan klaim kebenaran inilah yang dianggap sebagai pemicu lahirnya radikalisasi agama, perang dan penindasan atas nama agama. Konflik horisantal antar pemeluk agama hanya akan selesai jika masing-masing agama tidak menganggap bahwa ajaran agama meraka yang paling benar. Itulah tujuan akhir dari gerakan pluralisme untuk menghilangkan keyakinan akan klaim kebenaran agama dan paham yang dianut, sedangkan yang lain salah.
Di Indonesia, gerakan ini muncul dari sebuah pemikiran Budy Munawar Rachman dan Djohan yang waktu itu masih mahasiswa yang ikut terlibat dan concern, terhadap nasib negeri ini di bawah penguasa rezim yang otoriter. Mereka membentuk sebuah Kelompok Studi Proklamasi (KSP).
Mereka tidak melakukan perlawanan frontal, hanya ingin memelihara dan menumbuhkan kritisisme dengan cara membangun informasi dan publikasi antar mahasiswa dan kaum intelektual, karenanya fokus kegiatan mereka adalah diskusi dan publikasi buku serta ingin merespon dan mengkritik dampak pembangunan orde baru yang dirasakan semakin menyengsarakan rakyat. Karena kalau dituntut secara demontrasi akan berakhir dengan tragedi pembantaian seperti yang terjadi pada mahasiswa di Cina oleh rezim penguasa di lapangan Tiananmen[5], telah memicu rasa solidaritas. Hal lain juga diakibatkan oleh adanya konflik agama dan politik.
Sebenarnya pluralisme itu sudah dilakukan oleh Muhammad Hatta, walaupun belum dikenal istilah plural. Ketika pemberlakuan ”Piagam Jakarta”, ia menyakinkan golongan Islam untuk menghilangkan ”tujuh kata” penting dalam Piagam Jakarta: ”Dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya”, dan digantikan dengan kalimat Ketuhanan Yang Maha Esa yang juga menegaskan semangat tauhid dan keislaman yang inklusif  menjauhi dogmatisme yang kaku, berusaha mencari ”kalimatun sawa” atau ”common platform” dalam berbangsa dan bernegara.[6] Inilah awal mengapa gerakan pluralisme ada di Indonesia.


D.    Beda Pemahaman (Sisi Positif & Negatif Pluralisme)

Pluralisme, yang belakangan menjadi wacana paling hangat dikalangan umat beragama, menyusul fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang melarang paham ini, memang masih dipahami masyarakat secara beragam (plural) pula. Ya, terjadi pluralisme dalam memahami pluralisme. Bagaimana solusi untuk mengatasi beda pemahaman ini?
Melihat praktik pluralisme yang dikembangkan sejumlah ormas dan partai Islam beserta tokoh-tokoh muslim di dalamnya, dan melihat fatwa MUI yang melarang faham keberagaman, tentu menimbulkan prasangka: ada apa di balik semua ini? Mengapa fatwa itu datang tanpa ada sebab yang memadai, terkecuali fatwa tentang liberalisme yang dapat dikaitkan dengan Jaringan Islam Liberal. Kelompok progresif-liberal yang dipimpin pemikir muda Ulil Abshar Abdala itu belakangan dianggap makin ”menggelisahkan” sebagian kaum muslimin di Indonesia.
Dalam forum Munas Ke-7 di Jakarta, yang berakhir 29 Juli lalu, MUI mengeluarkan 11 fatwa. Salah satunya menyatakan bahwa pluralisme, sekularisme, dan liberalisme bertentangan dengan ajaran Islam. Selain itu, ada tiga fatwa lain yang berkaitan dengan kehidupan beragama di Tanah Air.
Pertama, fatwa bahwa perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. Kedua, hukum waris Islam tidak memberikan hak saling mewarisi antara orang-orang yang berbeda agama. Ketiga, doa bersama yang dilakukan orang-orang Islam dan nonmuslim tidak dikenal dalam Islam, dan itu termasuk bid’ah. Haram hukumnya apabila orang muslim dan nonmuslim melakukan berdoa bersama secara serentak.
Berbeda dari fatwa lain yang disikapi hampir seragam, misalnya ajaran Ahmadiyah yang dinyatakan berada di luar Islam dan sesat, sikap umat Islam terhadap fatwa (terutama) plularisme ini disikapi secara beragam. Sebagian ulama atau tokoh Islam yang lain menyebutnya sebagai ”fatwa kontroversial”. Sebab implikasinya sangat luas di tengah masyarakat yang memiliki beragam pola pikir dan pemahaman mengenai agama.
Sejumlah tokoh agama seperti Dawam Rahardjo, Uli Abshar Abdala, dan Djohan Effendi segera menemui Ketua Umum Dewan Syuro PKB KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Gus Dur yang dikenal sebagai pluralis langsung menentang keras fatwa tersebut. ”Indonesia bukan negara yang didasari satu agama tertentu. MUI juga bukan institusi yang berhak menentukan apakah sesuatu hal itu benar atau salah,” kata dia.
Pluralisme, menurut Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi, justru merupakan dasar hubungan antar umat beragama di Indonesia yang masyarakatnya sangat majemuk. ”Ini bisa merisaukan suasana yang kondusif bagi penciptaan kerukunan hidup beragama. Sebab masyarakat kita tidak tahu apa yang dimaksud dengan pluralisme oleh MUI,” tegas Azyumardi Azra, rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam konteks berprasangka baik (husnudz dzon), barangkali memang ada pemahaman berbeda di antara elite MUI dan sebagian ulama tentang arti pluralisme itu sendiri. Bahkan, perbedaan pemahaman itu juga muncul di kalangan nonmuslim. Di kalangan umat Nasrani, sosok pluralis makin langka sepeninggal Pendeta Dr Th Sumartana dan Romo Mangun (YB Mangunwijaya).
Azyumardi pun menduga ada beda pemahaman mengenai pluralisme, sekularisme, serta liberalisme antara wacana akademik (termasuk sebagian pemikir Islam) dengan cara pandang MUI. Misalnya, liberalisme yang diharamkan MUI yaitu pemikiran yang menggunakan pikiran manusia secara bebas (bukan pemikiran yang berlandaskan pada agama).
Sekularisme yang diharamkan adalah paham yang mengangap agama sekadar mengatur hubungan antara manusia dan Tuhan, sementara hablu minan naas tak bisa diatur agama. Kemudian pluralisme yang diharamkan adalah pandangan bahwa semua agama sama, relatif, dan tak boleh mengklaim agamanya itu sebagai satu-satunya jalan kebenaran.
Di sisi lain, sebagian tokoh Islam melihat pluralisme ini dari sudut pandang yang berbeda. Karena itu, sangat penting bagi masing-masing pihak untuk duduk bersama guna menyamakan persepsi mengenai pluralisme. Namun hingga sepekan setelah fatwa itu diumumkan ke publik, belum ada upaya dialog antara tokoh-tokoh agama dan MUI dan pemerintah untuk mencairkan kebekuan ini.
Sikap ini akhirnya diambil oleh Gus Dur yang langsung mendatangi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana. Isu utamanya tak lain menyoal fatwa MUI, baik mengenai ajaran Ahmadiyah maupun pluralisme, sekularisme, dan liberalisme. Sedangkan Wapres Jusuf Kalla hanya meminta para ulama memberi pemahaman dan pencerahan kepada masyarakat tentang bagaimana cara menyikapi perbedaan pandangan ini.
Ya, pluralisme masih sering dipahami secara keliru. Yang seringkali terjadi adalah pandangan bahwa semua agama yang berbeda itu sebagai sebuah kesamaan. Sebagian pluralis, antara lain M Syafi’i Anwar, menilai paham ini ”hanya” sekadar mengakui keberagaman orang lain, termasuk dalam beragama, tapi tidak harus setuju.
Sikap seorang pluralis itu tidak serta merta diterjemahkan sebagai toleran (tolerant) terhadap ajaran dan pemeluk agama lain, melainkan sekadar penghormatan (respect). Dalam konteks kebangsaan, atau keindonesiaan, sikap saling menghormati menjadi wacana yang amat penting di tengah keberagaman masyarakat Indonesia. Bahkan, keberagaman menjadi bagian paling fundamental serta inhern dengan hak asasi manusia, apalagi dalam kehidupan modern, hampir tidak ada kelompok masyarakat yang anggotanya homogen. Meski dalam kelompok kecil, mereka selalu terdiri atas masyarakat yang majemuk, baik mengenai suku, bahasa, warna kulit, agama, atau sebagainya.
Keberagaman merupakan hukum Allah (sunatullah) yang siapa pun tidak bisa menolaknya. Banyak faktor yang bisa dikemukakan mengenai kemajemukan umat manusia. Ibnu Khaldun pernah menganalisa kemajemukan manusia dari pengaruh alam dan cuaca, dengan membaginya dalam berbagai zona.
Dalam seminar ”Agama dan Masyarakat” yang digelar UKSW Salatiga (1997), cendekiawan muslim Komaruddin Hidayat menggambarkan pluralisme dengan sangat menarik. ”Kita ini berada dalam satu ruang yang sempit, dalam ‘perahu’ yang satu, dalam planet bumi yang satu, bahkan dalam bilik yang satu, yaitu Indonesia. Kalau kita berantem, ya lemari hancur, komputer hancur, dan sebagainya”.
Di negara Barat, tokoh pluralis bahkan menggunakan kalimat lebih ”keras”, untuk menyadarkan arti penting keberagaman. Paul Knitter (1985), misalnya, menganggap semua agama relatif: terbatas, parsial, dan tidak lengkap dalam melihat sesuatu. ”Menganggap agama yang satu lebih baik dari agama lain adalah ofensif, berpandangan sempit,” ujarnya.[7]


E.     Alqur’an dan Pluralisme
Bagaimana pluralisme dalam pandangan Islam? Pluralisme, yang di kalangan umat muslim Indonesia masih sebatas wacana dan kurang dipraktikkan dalam kehidupan nyata, sebenarnya dikupas cukup banyak dalam Alquran maupun hadis. Misalnya QS Yunus: 99,
”Jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang berada di muka bumi ini seluruhnya. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman?” (Q.S. Yunus: 99)[8]

Hal senada juga terdapat dalam QS An-Nahl: 93,
 
”Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat saja. Tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang kamu perbuat”   (Q.S. An-Nahl: 93)[9]

Jadi, kehendak untuk menciptakan keberagaman bukan datang dari manusia, melainkan justru datang dari Tuhan, dengan segala maksud dan tujuan-Nya. Apabila semua orang memeluk Islam, atau sebaliknya jika semuanya bukan Islam, bagaimana konteks ”Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku”                (QS Al-Kafirun: 4)[10]                              
Iwur O$tRr& ÓÎ/%tæ $¨B ÷Lnt6tã ÇÍÈ
Tanpa keberagaman, tidak bisa dibayangkan bagaimana bentuk kehidupan dunia. Yang akan terjadi hanya kejenuhan, stagnan, kebosanan, bahkan kehancuran. Homogenitas yang dikembangkan sistem komunis pun terbukti hancur. Apabila semua orang kaya, siapa yang bisa menjalankan rukun Islam keempat (zakat), karena tidak ada lagi fakir-miskin?
Dalam sejarah pun, Nabi Muhammad Saw telah memberi teladan mengenai bagaimana hidup bersama dalam keberagaman. Di Madinah, Rasulullah punya tetangga seorang Yahudi. Ketika menyembelih kambing, Nabi mengirim daging yang sudah dimasak kepada orang Yahudi tadi. Apa itu artinya?
Komunitas di luar Islam, sepanjang berperilaku baik dan tidak memusuhi Islam, harus diperlakukan secara baik pula. Fanatisme dalam beragama tidak harus menghilangkan sikap saling menghormati dengan umat beragama lainnya. Kesadaran ini juga berlaku dalam menyikapi berbagai aliran dalam suatu agama, apakah Islam, Nasrani, Hindu, dan sebagainya.
Dalam Perang Khaibar, melawan orang-orang Yahudi yang memusuhinya, Rasulullah menemukan sebuah Taurat. Dia langsung memerintah sahabatnya agar mengembalikan kitab suci itu kepada pemiliknya, siapa tahu diperlukan untuk mendidik anak-anaknya.
Dalam sebuah hadis, riwayat Ibnu Abbas, seorang lelaki datang kepada Nabi, meminta izin untuk memaksa anaknya yang beragama Nasrani agar beralih menjadi muslim. Apa jawab Nabi? Beliau menolak permintaan itu, sambil membacakan ayat yang melarang pemaksaan seseorang dalam beragama. “Tidak ada paksaan untuk memeluk agama Islam. Sesungguhnya telah jelas antara jalan yang benar dari jalan yang sesat.”
 
Tidak ada paksaan untuk (memasuki agama Islam), Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (QS Al-Baqarah: 256)[11]

Selanjutnya yang paling humanis adalah peristiwa Rasulullah dalam suatu majelis. Tiba-tiba ia berdiri, saat menyaksikan serombongan orang membawa jenazah. Para sahabat mengetahui jenazah tersebut adalah orang Yahudi. ”Ya, Rasulullah, bukankah itu jenazah orang Yahudi?” Apa jawab Nabi? ”Dia juga jiwa (manusia).”
Dalam Islam sendiri terdapat pluralisme, misalnya adanya Syiah, Sunni, dan sebagainya, mereka sama-sama bagian dari Islam. Dalam hal ini, Imam Syafi’i pun telah memberi teladan yang baik. Imam Syafi’i, yang mazhabnya menjadi panutan mayoritas umat Islam Indonesia, tidak melakukan doa qunut, ketika jadi imam salat subuh di sebuah masjid di Irak. Dia tahu, masyarakat Irak adalah pengikut mazhab Imam Hanafi yang tidak menyetujui qunut.
Maka, kalau Imam Syafi’i saja bisa luwes, mengapa umat muslim di Indonesia tidak mau melakukan seperti panutannya? Dalam analisa Buya Hamka, Imam Syafi’i lebih mengutamakan keharmonisan dalam bermasyarakat. Dia tak ingin mengganggu perasaan dan kebiasaan warga Irak yang tidak berqunut. Tidak perlu ada sikap saling mengecam, menyalahkan, dan menganggap diri sendiri sebagai paling benar.
Melihat contoh-contoh di atas, mestinya tak ada keraguan sedikit pun bahwa Islam secara doktriner adalah agama yang sangat toleran. Komaruddin bahkan menyebutnya paling toleran, sedangkan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin menganggap pluralisme sebagai suatu sunatullah mesti didorong atas dasar saling memahami, menghargai, dan toleran. ”Islam justru memberikan jaminan dalam beragama maupun tidak beragama,” ujarnya.
Akhirnya yang jadi persoalan adalah sikap umat Islam tak selalu konkruen. Sebagian menganggap pemahamannya selalu benar, padahal kebenaran absolut hanya milik Tuhan. Maka, beragama tidak pernah usai, dan selalu berada dalam proses. Sepanjang yang beragama itu manusia, maka manusia akan selalu berkembang.
Di sinilah kita perlu mengubah mindset (kerangka berpikir) yang masih keliru. Kita mesti belajar untuk duduk bersama, saling mendengar dan bertukar pikiran, baik dengan sesama muslim maupun nonmuslim. Upaya untuk mencairkan kebekuan wacana pluralisme juga bisa dipercepat dengan jalan mengintensifkan pendidikan pluralisme dan multikulturalisme di sekolah-sekolah. Lembaga pendidikan dianggap media yang paling tepat untuk mereparasi mindset seseorang. Misalnya diawali dari sejarah agama-agama lebih detail. Dengan memahami sejarah, seseorang cenderung sulit menjadi radikal terhadap agama maupun penganut agama lain.[12]


F.     Tantangan dan Hambatan Pluralisme
Dalam mengajarkan gagasan ini mereka sering mengumpamakan agama dengan tiga orang buta yang menjelaskan tentang bentuk gajah. Ketiga orang buta itu diminta untuk memegang gajah, ada yang memegang telinganya, ada yang memegang kakinya, dan ada yang memegang belalainya. Setelah mereka semua memegang gajah, lalu mereka bercerita satu sama lain. Orang buta yang memegang belalai mengatakan bahwa gajah itu seperti pipa, yang memegang telinganya berkata bahwa gajah seperti kipas yang lebar dan kaku, dan yang memegang kaki mengatakan bahwa gajah seperti pohon besar yang kokoh.
Dengan berpijak pada cerita tersebut lalu mereka mengatakan bahwa semua agama pada dasarnya menyembah Tuhan yang sama, meskipun cara penyembahannya berbeda-beda.
Bagi para penggiat pluralisme dari kalangan kaum muslimin mereka pun menyitir ayat-ayat yang mengandung gagasan pluralisme. Di antara ayat yang sering mereka sitir adalah:  “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); (al-Baqarah:256), “Sesungguhnya orang-orang mu’min, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”               (al-Baqarah:62).
Dengan kemampuan mereka memahami bahasa Arab yang cukup baik, mereka suka memelintir makna ayat sehingga kaum intelektual awam agama percaya kepada mereka. Mari kita perhatikan ayat 256 surat al-Baqarah, mereka menganggap tidak ada paksaan dalam beragama berarti pengakuan agama lain. Pemahaman demikian bukanlah pemahaman yang benar.
Untuk lebih memahami makna tidak ada paksaan ini satu ayat penuh harus difahami secara utuh. Lanjutan ayat tersebut adalah, “sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Jika ayat ini dibaca dengan tuntas maka akan jelas, tidak ada paksaan karena telah jelas yang benar dan yang salah, Islam itulah yang benar dan yang lainnya adalah salah. Masing-masing bebas memilih dengan resiko sendiri-sendiri.
Adapun kaum pluralis dalam memaksakan pemahamannya tak jarang memotong ayat tidak pada tempatnya sehingga seolah-olah benar padahal tidak benar.
Jika kita lihat ayat 62 surat al-Baqarah, sekilas memang ayat ini menjelaskan bahwa orang Yahudi jika tetap beriman dan beramal shaleh akan masuk surga. Orang Nasrani, orang Shabi’in, selama tetap beriman dan beramal shaleh ia akan masuk surga. Akan tetapi dalam memahami suatu ayat, para ulama telah menganjurkan agar menggunakan riwayat turunnya ayat, yang disebut dengan asbab nuzul. Adapun asbab nuzulnya ayat ini adalah: Salman al-Farisi, tatkala ia menceritakan kepada Nabi Saw kebaikan-kebaikan guru-gurunya dari golongan Nasrani dan Yahudi. Tatkala Salman selesai memuji para sahabatnya, Nabi saw bersabda, “Ya Salman, mereka termasuk ke dalam penduduk neraka.” Selanjutnya, Allah swt menurunkan ayat ini. Lalu hal ini menjadi keimanan orang-orang Yahudi yaitu, siapa saja yang berpegang teguh terhadap Taurat, serta perilaku Musa as hingga datangnya Isa as (maka ia selamat). Ketika Isa as telah diangkat menjadi Nabi, maka siapa saja yang tetap berpegang teguh kepada Taurat dan mengambil perilaku Musa as, namun tidak memeluk agama Isa as, dan tidak mau mengikuti Isa as, maka ia akan binasa. Demikian pula orang Nasrani. Siapa saja yang berpegang teguh kepada Injil dan syariatnya Isa as hingga datangnya Muhammad Saw, maka ia adalah orang mukmin yang amal perbuatannya diterima oleh Allah swt. Namun, setelah Muhammad Saw datang, siapa saja yang tidak mengikuti Nabi Muhammad Saw, dan tetap beribadah seperti perilakunya Isa as dan Injil, maka ia akan mengalami kebinasaan.”
Ibnu Katsir menyatakan, “Setelah ayat ini diturunkan, selanjutnya Allah Swt menurunkan surat, “Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.”
 
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan Dia di akhirat Termasuk orang-orang yang rugi. (Q.S. Al-Imron: 85)[13]

Ibnu ‘Abbas menyatakan, “Ayat ini menjelaskan bahwa tidak ada satupun jalan, agama, kepercayaan, ataupun perbuatan yang diterima di sisi Allah, kecuali jika jalan dan perbuatan itu berjalan sesuai dengan syari’atnya Muhammad Saw. Adapun, umat terdahulu sebelum nabi Muhammad diutus, maka selama mereka mengikuti ajaran nabi-nabi pada zamanya dengan konsisten, maka mereka mendapatkan petunjuk dan memperoleh jalan keselamatan.”
Ya, kaum pluralis itu mengambil satu ayat dengan mengabaikan ayat-ayat yang lain. Meraka abaikan ayat: “Sesungguhnya agama yang diridloi di sisi Allah hanyalah Islam.” (Ali Imron:19). “Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akherat termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali Imron:85). Mereka abaikan pula ayat; “Orang-orang Yahudi berkata: “Uzair itu putera Allah” dan orang Nasrani berkata: “Al Masih itu putera Allah”. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknat Allahlah mereka, bagaimana mereka sampai berpaling?” (al-Taubah:30) “Sungguh telah kafir, mereka yang mengatakan, “Tuhan itu ialah Isa al-Masih putera Maryam.”(al-Maidah:72)
Seandainya ide pluralisme agama ini memang diakui di dalam Islam, berarti, tidak ada satupun orang yang dikatakan kafir. Tetapi alqur’an dengan sangat tegas menyebut orang ahli kitab yang tidak menerima Islam dengan sebutan kafir. Firman Allah: ”Sesungguhnya orang-orang kafir dari golongan ahli kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruknya mahluk (al-Bayyinah:6)
Demikianlah, Islam sama sekali tidak mengakui kebenaran ide pluralisme. Islam hanya mengakui adanya pluralitas agama dan keyakinan. Maknanya Islam hanya mengakui adanya agama dan keyakinan di luar agama Islam, serta mengakui adanya identitas agama-agama selain Islam. Islam tidak memaksa pemeluk agama lain untuk masuk Islam. Mereka dibiarkan memeluk keyakinan dan agama mereka. Hanya saja, pengakuan Islam terhadap pluralitas agama tidak boleh dipahami bahwa Islam juga mengakui adanya kebenaran pada agama selain Islam. Islam tetap mengajarkan bahwa agama di luar Islam adalah kesesatan, meskipun diizinkan hidup berdampingan dengan Islam.
Akhirnya, pluralisme adalah paham sesat yang bertentangan dengan aqidah Islam. Islam mengajarkan keyakinan bahwa Islam sajalah agama yang benar, yang diridlai Allah. Orang yang masih mencari agama selain Islam, ia akan rugi, karena amalnya tidak diterima oleh Allah. Siapapun yang mengakui kebenaran agama selain Islam, atau menyakini bahwa orang Yahudi dan Nasrani masuk ke surga, maka dia telah mengingkari ayat-ayat alqur’an yang tegas dan jelas. Pengingkaran tersebut berakibat pada batalnya keislaman seseorang. Inilah tantangan dan hambatan yang dihadapi umat Islam saat ini, karena berada di era globalisasi.

G.    Pemikiran Islam dan Praktik Pluralisme di Indonesia.
Dalam paham pluralisme agama yang berkembang di Barat sendiri terdapat sekurang-kurangnya dua aliran yang berbeda: yaitu paham yang dikenal dengan program teologi global (global theology) dan paham kesatuan transenden agama-agama (Transcendent Unity of Religions[14]). Kedua aliran ini telah membangun gagasan, konsep dan prinsip masing-masing yang akhirnya menjadi paham yang sistemik, karena itu yang satu menyalahkan yang lain.
Munculnya kedua aliran di atas juga disebabkan oleh dua motif yang berbeda, meskipun keduanya muncul di Barat dan menjadi tumpuan perhatian masyarakat Barat. Bagi aliran pertama yang umumnya diwarnai oleh kajian sosiologis motif terpentingnya adalah karena tuntutan modernisasi dan globalisasi. Karena pentingnya agama di era globalisasi ini maka hubungan globalisasi dan agama menjadi tema sentral dalam sosiologi agama, nampaknya agama dianggap sebagai kendala bagi program globalisasi. Sedangkan motif aliran kedua yang didominasi oleh pendekatan filosofis dan teologis Barat. Kalangan filosof dan teolog justru menolak arus modernisasi dan globalisasi yang cenderung mengetepikan agama itu dengan berusaha mempertahankan tradisi yang terdapat dalam agama-agama itu. Yang pertama memakai pendekatan sosiologis, sedangkan yang kedua memakai pendekatan religious filosofis.
Solusi yang ditawarkan kedua aliran inipun berbeda. Berdasarkan motif sosiologis yang mengusung program globalisasi, aliran pertama menawarkan konsep dunia yang tanpa batas geografis cultural, ideologis, teologis, kepercayaan dan lain-lain. Artinya identitas kultural, kepercayaan dan agama harus dilebur atau disesuaikan dengan zaman modern. Kelompok ini yakin bahwa agama-agama itu berevolusi dan nanti akan saling mendekat yang pada akhirnya tidak akan ada lagi perbedaan antara satu agama dengan lainnya. Agama-agama itu kemudian akan melebur menjadi satu. Berdasarkan asumsi itu maka John Hick, salah satu tokoh terpentingnya, segera memperkenalkan konsep pluralisme agama dengan gagasannya yang disebut global theology. Selain Hick di antara tokohnya yang terkenal adalah Wilfred Cantwell Smith, pendiri McGill Islamic Studies. Tokoh-tokoh lain dapat dilihat dari karya Hick berjudul Problems of Religious Pluralism, yang menulis terjemahannya: kepada kawan-kawan yang merupakan nabi-nabi pluralisme agama dalam berbagai tradisi mereka: Masau Abe dalam agama Budha, Hasan Askari dalam Islam, Ramchandra Gandhi dalam agama Hindu, Kushdeva Singh dalam agama Sikh, Wilfred Cantwell Smith dalam agama Kristen dan Leo Trepp dalam agama Yahudi.
Solusi yang ditawarkan oleh aliran kedua adalah pendekatan religious filosofis dan membela eksistensi agama-agama. Bagi kelompok ini agama tidak bisa dirubah begitu saja dengan mengikuti zaman globalisasi, zaman modern ataupun postmodern yang telah meminggirkan agama itu. Agama tidak bisa dilihat hanya dari perspektif sosilogis ataupun histories dan tidak pula dihilangkan identitasnya. Kelompok ini lalu memperkenalkan pendekatan tradisional dan mengangkat konsep-konsep yang diambil secara parallel dari tradisi agama-agama. Salah satu konsep utama kelompok ini adalah konsep Sophia Perrenis atau dalam bahasa Hindu disebut Sanata Dharma atau dalam Islam disebut al-Hikmah al-kha’idah. Konsep ini mengandung pandangan bahwa di dalam setiap agama terdapat tradisi-tradisi sakral yang perlu dihidupkan dan dipelihara secara adil, tanpa menganggap salah satunya lebih superior dari pada yang lain. Agama bagi aliran ini adalah bagaikan berjalan-jalan yang mengantarkan ke puncak yang sama (all paths lead to the same summit). Tokoh pencetus dan pendukung paham ini adalah Rena Guanon (m. 1951), T. S. Eliot (m. 1965), Titus Burckhardt (m. 1984), Fritjhof Schuon (m.1998), Ananda K. Coomaraswamy (m. 1947), Martin Ling, Seyyed Hossein Nasr, Huston Smith, Louis Massignon, Marco Pallis (m. 1989), Henry Corbin, Jean-Louis Michon, Jean Cantein, Victor Danner, Joseph E. Brown, William Stoddart, Lord Northbourne, Gai Eaton, W. N. Perry, G. Durand, E. F. Schumacher, J. Needleman, William C. Chittick dan lain-lain.
Meskipun kajian-kajian di atas telah merespon paham pluralisme agama dengan menggunakan framework pemikiran Islam, namun respon dari sumber yang lebih otoritatif masih diperlukan. Dan kajian pluralisme agama cenderung diwarnai oleh sikap anti-Barat. Namun kesan ini nampak tergesa-gesa dan justru lebih cenderung merupakan sikap mental yang terbaratkan dari pada obyektif. Sebab paham pluralisme agama yang dibawa oleh arus pemikiran globalisasi Barat modern dan pos-modern ternyata juga menuai kritik dari paham pluralisme agama yang dimotivasi oleh keinginan untuk menghidupkan tradisi dalam agama-agama di Timur. Dalam kondisi pemikiran yang problematik ini sangatlah bijaksana jika kita tidak ke Barat dan tidak ke Timur, tapi kembali kepada Islam.
Pluralisme di Indonesia adalah bentuknya modifikasi. Ada yang mengambil sebagian aliran global teologi dan sebagian mengambil dari Transendent Unity of Religions. Dan kedua aliran tersebut bertujuan sama, yaitu: keberadaan agama-agama sama derajatnya. Tetapi aliran yang diminati oleh kaum pluralis Indonesia adalah aliran transendent unity of religions. Sebab wacana agama Indonesia banyak dilatar belakangi oleh konflik sosial dari pada konflik teologi.


1. Pluralisme Basis Relativisme

Kebenaran dogma menjadi salah satu perbincangan dalam masalah pluralisme agama. Truth claim terhadap dogma agama yang dipeluk para penganut agama-agama seakan mengusik kaum pluralis, sehingga kaum pluralis menganjurkan kepada pemeluk agama untuk menganut paham ini. Tetapi kaum pluralis sendiri memaknai pluralisme masih dalam perdebatan.
Pluralisme yang ada di Indonesia memiliki beberapa tipe, pada satu sisi mengandung nilai-nilai toleransi, pada sisi yang lain mengandung nilai relativisme. Bahkan, sampai pada tingkat nihilisme. Doktrin relativisme bermula dari Protagoras yang berprinsip bahwa manusia adalah ukuran segala sesuatu (man is the measure of all things)[15].
Doktrin relativisme hanya mengandalkan akal manusia, makna agama hanyalah tradisi. Agama tidak layak dijadikan patokan/standarisasi nilai-nilai kebenaran yang absolute[16]. Kaum relativis berkeyakinan yang absolute hanya Tuhan[17], jadi kebenaran agama hasil tafsiran manusia adalah relative dan tidak absolute.
Agama (Tuhan) memiliki keabsolutan kebenaran dan jika agama memasuki akal manusia, maka wahyu tersebut akan menjadi pemikiran keagamaan, maka pemikiran tersebut (representasi manusia tentang agama) adalah relatif sebab manusia sifatnya relatif[18].
Di samping itu, ternyata kita juga menyaksikan bagaimana penafsiran atas sebuah agama (Islam) sendiri tidaklah tunggal. Dengan demikian upaya mempersamakan dan mempersatukan di bawah payung (satu tafsir) agama menjadi kontradiktif. Pada gilirannya agama kemudian menjadi sangat relatif ketika dijelmakan dalam praktik kehidupan sehari-hari[19].
Padahal dalam agama Islam keabsolutan itu bisa sampai tingkat manusia, sebab manusia dibekali wahyu, akal, rasul atau khabar shadiq. Dan akidah adalah bagian dari khabar shadiq yang diriwayatkan rasulullah kepada sahabat-sahabatnya dan turun kepada ulama-ulama. Bisa kita bayangkan jika di dunia ini semua relatif, maka hadis Nabi yang menganjurkan untuk mencegah kemungkaran tidak akan berlaku lagi, sebab semua relatif, baik dan buruk standarnya akal manusia.
Pluralisme berkaitan erat dengan relativisme kebenaran, sedangkan relativisme memandang, bahwa semua keyakinan keagamaan, ideologi, dan pemikiran filosofis, sama-sama mengandung kebenaran dan memiliki posisi yang sederajat. Jadi tidak ada kebenaran yang mutlak yang dapat ditemukan dalam suatu agama karena memiliki kapasitas yang sama[20].
Pluralis-relativisme adalah gagasan yang menekankan, bahwa perbedaan dan kemajemukan adalah prinsip yang tertinggi. Pemahaman pluralisme mengharuskan manusia menghormati semua bentuk keanekaragaman dan perbedaan, dengan menerima hal tersebut adalah bentuk dari menerima realitas yang sebenarnya. Dalam sikap seorang pluralis bukan hanya berhenti pada pluralitas, tetapi sikap menerima pluralitas dengan sikap menerima pluralisme.
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz ÇÊÌÈ  
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal (Q.S. Al-Hujarat: 13)[21]

"….Kemajemukan atau pluralitas umat manusia adalah kenyataan yang telah menjadi kehendak Tuhan. Jika dalam alqur’an disebutkan bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal dan menghargai, maka pluralitas itu meningkat menjadi pluralisme, yaitu suatu sistem nilai yang memandang secara positif-optimis terhadap kemajemukan itu sendiri, dengan menerimanya sebagai kenyataan itu...."[22]

Maka dalam konteks ini Nurcholish Madjid mengajak umat Islam menerapkan prinsip kenisbian ke dalam. Prinsip untuk melepas klaim kemutlakan kebenaran, sehingga persaudaraan dapat dibangun antar umat manusia. Melalui semangat persaudaraan diharapkan dapat mengubah perbedaan-perbedaan sehingga dapat menjadi sumber positif dalam berlomba-lomba menuju kebaikan. Kemudian, melalui persaudaraan sikap saling menghormati akan tumbuh sehingga menghargai perbedaan antar umat dalam kehidupan masyarakat akan terwujud, sebab perbedaan antar umat beragama adalah hanya terletak pada ritual keagamaan dalam mengekspresikan patuh dan tunduk kepada Allah Yang Maha Pencipta.
Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Ahmad Syafi’i Ma’arif, ”sekali pemahaman akan wahyu memasuki akal manusia, siapa pun manusia itu, ia akan memasuki wilayah kenisbian. Tidak boleh diklaim sebagai suatu kebenaran. Akal manusia tidak akan sampai mengetahui hakekat kebenaran. Sehingga, konsekwensinya juga tidak bisa mengetahui hakekat kebatilan. Akhirnya tidak boleh mengatakan bahwa apa yang diyakini oleh seseorang benar atau batil[23].
Menurut Syamsul Hidayat Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, pernyataan di atas akan sangat menyiksa manusia dan menjadikan kekacauan kehidupan manusia, sebab tidak ada kejelasan antara benar dan salah, ma`ruf dan mungkar, tauhid dan syirik, kesesatan dan petunjuk. Padahal banyak ayat-ayat alqur’an dan sunnah yang menjelaskan tentang kriteria al-Haq dan al-Bathil, tauhid dan syirik, baik dan buruk. Kemudian Syamsul Hidayat  mengatakan kesadaran akan relativitas akal, justru agar akal tunduk kepada mutlak kebenaran wahyu yang disajikan secara jelas oleh alqur’an dan sunnah kepada akal manusia. Artinya relativitas akal tetap disertai dengan kapasitas untuk mencapai kebenaran dan kebatilan secara pasti, serta tunduk kepada ketentuan wahyu[24].
Jika umat Islam sudah tidak lagi percaya kepada kriteria tauhid, syirik, atau umat agama yang lain tidak percaya terhadap baik-buruk, benar-salah, petunjuk-kesesatan dan lain sebagainya yang disebutkan dalam alqur’an dan sunnah atau dalam agama selain Islam di kitabnya masing-masing yang dianggap menjadi panduan ajaran agama, padahal alquran dan sunnah sebagai pedoman umat Islam, kemudian tidak dianggap benar, kalau begitu apalagi  yang bisa dijadikan pedoman?
Kaum pluralis yakin bahwa agama-agama adalah bentuk jalan menuju Tuhan. Menurut Budhy Munawar Rachman, jalan menuju Tuhan itu adalah satu, tetapi jalurnya banyak, atau jalur menuju keselamatan adalah memang banyak dan Tuhan memanivestasikan dalam bentuk yang beraneka ragam dan bukan hanya pada satu jalan.

Beliau juga mengutip ayat alqur’an surat al-Hujurat: 49
Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat                    (Q.S. Al-Hujurat:10)[25]

Menurut beliau ayat ini menerangkan tentang perintah Allah untuk saling kompromi, saling take and give, dan tak ada yang boleh mengklaim sebagai yang paling benar[26].
Pluralisme, masih menurut Budhy Munawar Rachman, tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam tetapi pluralisme harus disikapi dengan teologia religionum (teologi agama-agama) dengan tujuan memasuki dialog antaragama[27], bahwa pendekatan terhadap agama-agama adalah melalui tiga jalur yaitu dengan sikap eksklusif, inklusif  dan paralelis[28].
Argumentasi pluralisme memakai QS. al-Hujurat [49]:10 untuk persatuan, persaudaraan lintas agama adalah penafsiran yang penuh hawa nafsu. Padahal dalam QS. Al-Imran ayat 19 sangat jelas, bahwa jalan menuju Allah hanyalah Islam. Bagi yang tidak melaksanakan keislaman berarti kafir. Islam secara teologis bersifat eksklusif sedangkan dalam bermuamalat, bersosialisasi dengan masyarakat adalah inklusif. Tidak ada larangan untuk menjalin hubungan dengan masyarakat selama tidak merugikan. Sebab nabi juga bersosialisasi dengan masyarakat non muslim.
Makna pluralis dan pluralisme kaum pluralis selalu meyamakan. Senada pengkaburan tersebut Alwi Shihab juga berpendapat, Berbicara pluralisme artinya bukan satu, tetapi plural, banyak. Dan banyak itu artinya berbeda, karena tidak ada yang sama. Maka kita harus bisa menghargai pendapat orang lain, kemudian juga beliau berpendapat bahwa pluralisme itu respect terhadap pendapat orang lain dan tidak memaksakan kehendak kelompok yang berbeda dengan kita tapi yang seharusnya adalah saling interaksi dengan baik saling menghormati khususnya ideologi agar terciptanya afinitas (daya gabung/hubungan erat)[29], akan tetapi kalimat ini sangat kontradiksi dengan kalimat berikutnya. Alwi Shihab diakhir tulisannya menulis. "....nilai-nilai pluralisme dalam Islam itu sangat kental, maka kita harus mengembangkan nilai-nilai pluralisme ini untuk menghormati pendapat orang lain dan tidak memaksakan pendapat kita...."[30]
Menurut analisa penulis, kalimat: "maka kita harus mengembangkan nilai-nilai pluralisme" adalah merupakan kalimat untuk memaksakan pendapatnya kepada orang lain. Kemudian juga Alwi Shihab juga menulis "mari kita kembangkan budaya ini, kalimat ini sebenarnya bentuk kalimat yang tidak toleran terhadap orang-orang yang mempertahankan eksklusifisme, padahal dalam Islam tidak terdapat istilah tersebut. Teology Islam adalah eksklusif sekaligus inklusif dalam kehidupan sosial.


2. Pluralisme Basis Nihilisme

Pluralisme basis nihilisme adalah bahwa jika semua agama adalah sama benar maka logika terbaliknya adalah tidak ada kebenaran dalam semua agama. Sehingga Ludwig Feuerbach menunjukkan esensi agama terletak pada manusia[31], sehingga Feuerbach memaknai agama hanyalah gambaran akan keinginan manusia yang tak terbatas, yang dibentuk oleh manusia tentang dirinya sendiri dan tidak lebih dari proyeksi hakikat manusia.
Agama itu hanya merupakan perwujudan cita-cita: “Ilusi religius yang terdiri dari suatu objek bersifat imanen pada pikiran kita menjadi lahiriah[32], mewujudkannya, mempersonifikasikannya. ”Atribut-atribut Ilahi merupakan perwujudan dari predikat-predikat manusiawi, yang tidak sesuai dengan individu manusia sebagai individu, Allah yang kekal, itulah akal budi manusia dengan coraknya yang bersifat mutlak yang sekali lagi merupakan hasil proyeksi manusia. Agama merupakan kesadaran yang tidak terhingga.
Jadi Tuhan tidak lebih daripada manusia: dengan kata lain, ia adalah proyeksi luar dari hakikat batin manusia sendiri. Bisa juga dikatakan bahwa Tuhan ada dalam tiap manusia, dan manusia adalah bentuk luar dari Tuhan. Tuhan bukan lagi Zat Yang Maha Kuasa tapi merupakan akal kolektif manusia. Sarana komunikasi Tuhan bukan melalui wahyu melainkan dalam bahasa nasional. Manusia tidak butuh dengan Tuhan sebab manusia dapat menyelesaikan masalah dunia tanpa dengan Tuhan[33].Jika demikian berarti manusia tidak butuh agama, sebab manusia adalah proyeksi atau gambaran Tuhan itu sendiri. Jika manusia adalah Tuhan apa fungsi agama bagi manusia? Sehingga demikian manusia tidak butuh agama. Dan agama-agama yang ada hanyalah aturan-aturan yang tidak bermakna.
Selain Feuerbach dengan ateisme antropologisnya maka Karl Marx dengan ateisme sosio-politis bahwa agama itu candu bagi masyarakat (religion is the opium of the people). Pendapat Marx ini adalah menerangkan bahwa dengan adanya agama maka struktur masyarakat tidak sehat. Agama menurut Marx adalah hanya khayalan membuat manusia terlena[34]. Agama bagaikan eskapisme untuk keluar dari dunia nyata ke dunia khayalan. Agama singkatnya adalah sesuatu yang tidak riil.
Pada pemikiran ini menyatakan bahwa, kebenaran sejatinya tidak ada, sebab dari pemahaman tentang  kebenaran adalah sama benarnya. Karena kebenaran sama benarnya atau bisa jadi semua kebenaran adalah sama salahnya, itu berarti kebenaran itu tidak ada. Selain itu juga kaum pluralis menganggap bahwa toleransi jika tidak dibarengi dengan sikap pluralisme itu bukanlah sikap toleransi sejati. Seorang pluralis sejati memaknai pluralisme dengan kesamaan dan kesetaraan dalam segala hal, termasuk beragama. Setiap pemeluk agama harus memandang sama pada semua agama dan pemeluknya. Kaum pluralis juga beranggapan bahwa umat beragama jika tidak mengaplikasikan pluralisme dalam keagamaanya berarti toleran atau intoleran terhadap pemeluk agama yang lain.
Kaum pluralis juga  berusaha untuk menghilangkan otoritatif teolog, ulama dan lain sebagainya, sebab mereka beranggapan akal kolektif manusia yang berhak untuk memaknai sesuatu. Hal ini sesuai dengan pendapat Musdah Mulia disaat diwawancarai oleh Najwa Shihab di Metro TV 21 April 2010. Menurut Musdah Mulia bahwa yang berhak menafsirkan dan mendefinisikan agama adalah elemen masyarakat dan kesepakatan bersama, kemudian juga Musdah beranggapan bahwa Islam harus sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, Prinsip NKRI dan prinsip-prinsip Bhinneka Tunggal Ika sebab Islam berada di Indonesia. Dari ungkapan beliau ini jelas bahwa nilai-nilai agama direduksi menjadi nilai kebangsaan, nilai-nilai agama diganti dengan kesepakatan bersama.


3. Pluralisme Basis Theosofis
Theosofis[35] merupakan organisasi aliran kebatinan, wadah studi, dan pemahaman mengenai kebijaksanaan Ilahi yang tersirat di alam raya ini. Menurut Artawijaya yang menulis Gerakan Theosofi di Indonesia, bahwa antara freemasonry  dan theosofi adalah satu tujuan dan hanya beda nama[36].
Inti ajaran dari theosofi adalah agama apapun selama menjunjung tinggi kemanusiaan dan menebarkan kebajikan adalah pada hakekatnya sama. Tidak ada yang lebih tinggi kedudukannya dari pada kebenaran. Inilah ajaran teosofi dalam memandang agama. Bahkan dalam lambang theosofi terdapat motto organisasi yang berbunyi, "There is no relegion higher than truth", atau dalam bahasa sangsekerta, "Satyan nasti paroh darma" yang berarti "Tidak ada agama yang lebih tinggi daripada kebenaran".
Dari motto organisasi ini bermakna masing-masing agama tidak bisa mengklaim bahwa agamanyalah yang mutlak benar (absolute truth claims). Karena menurut mereka kebenaran tidak berbentuk tunggal dan kebenaran terdapat dalam agama-agama selama menjalankan kebaikan dan kebenaran.  Dan inilah yang menjadi dasar para pengikut pluralisme agama di Indonesia. menurut kaum theosof bahwa setiap kehidupan dan makhluk di alam ini ada zat Tuhan yang menyatu serta alam dan seisinya bukanlah diciptakan melainkan terpancar dari zat Tuhan. Jadi dari setiap individu manusia memiliki zat Tuhan yang bersemayam dalam hati dan jantung manusia[37].
Gerakan theosofi yang dirumuskan Anie Besant salah satunya adalah membentuk suatu inti persaudaraan universal kemanusiaan, tanpa membeda-bedakan ras (bangsa), kepercayaan, jenis kelamin, kasta atau warna kulit[38]. Kata-kata ini seakan indah tetapi memiliki tujuan yang berbeda. Padahal dalam Islam persaudaraan berdasarkan keimanan[39], dan ditegaskan kembali dalam QS. al-Mujadalah: 22[40]
Di antara sarjana muslim Indonesia yang terpengaruh dengan ide-ide Theosofi adalah Komarudin Hidayat. Disalah satu karyanya beliau menulis:
Kebenaran abadi yang universal akan selalu ditemukan pada setiap agama, walaupun masing-masing tradisi agama memiliki bahasa dan bungkus yang berbeda-beda. Karena perbedaan bungkus inilah maka kesulitan, kesalahpahaman dan perselisihan antar pemeluk agama seringkali muncul ke permukaan. Pada tahap ini, agama muncul dengan ragam wajah dan ragam bahasa sementara kita cenderung melihat perbedaannya ketimbang persamaanya[41].

 Jika dicermati kalimat di atas, bahwa Komaruddin Hidayat meyakini bahwa kebenaran dapat ditemukan pada setiap agama. Keberagaman agama-agama hanyalah bentuk bungkus, kulit luar dan tradisi yang berbeda dari tiap agama-agama, akan tetapi isi ajaran agama adalah sama. Kemudian masih dalam buku yang sama, Komaruddin mengatakan, "secara empiris adalah suatu kemustahilan jika kita mengidealisasikan munculnya kebenaran tunggal yang tampil dengan format dan bungkus tunggal, lalu ditangkap oleh manusia dengan pemahaman serta keyakinan yang seragam dan tunggal pula"[42] Di sinilah Komaruddin menyangsikan akan adanya sebuah kebenaran dalam bentuk tunggal. Keberagaman tersebut merupakan kebenaran. Dan kebenaran terdapat pada tiap-tiap sesuatu yang tidak tunggal. Dan ini berarti beliau meragukan kebenaran agama Islam dan kesempurnaan ajaran.
Zuhairi Misrawi  Intelektual Muda NU dan Ketua Moderate Muslim Society. Dalam tulisannya di Kompas mengatakan:
Pluralisme pertama-tama dimulai dari kesadaran tentang pentingnya perbedaan dan keragaman. Sebab perbedaan merupakan fitrah yang harus dirayakan dan dirangkai menjadi kekuatan untuk membangun harmoni. Adapun anggapan bahwa pluralisme akan menjadi sinkretisme merupakan pandangan yang cenderung mengada-ada. Faktanya, pluralisme dan sinkretisme sangat tidak identik.[43]

Di sini Zuhairi Misrawi mengajak untuk sadar terhadap perbedaan dan keragaman merupakan fitrah manusia. Fatwa keagamaan berupa penyesatan dan pengharaman terhadap kelompok minoritas dalam intra-agama sepanjang tahun 2009 juga menjadi tantangan serius. Fatwa tersebut dapat digunakan untuk melakukan tindakan hukum yang dapat dianggap sebagai diskriminasi dan kriminalisasi terhadap kelompok minoritas. Fatwa tersebut kerap kali dijadikan sebagai landasan untuk melarang kegiatan dan memejahijaukan mereka dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 dan KUHP Pasal 156a tentang penodaan agama. Di samping itu, kelompok minoritas harus mendapatkan perlakukan tidak manusiawi oleh sekelompok masyarakat yang tidak beridentitas, baik penyerangan maupun pengusiran[44].
Di sini tampak jelas bahwa Zuhairi menolak fatwa MUI terhadap Ahmadiyah, Lia Eden atau aliran-aliran sesat yang lainnya, bahkan Zuhairi mendukung keberadaannya. Sebab pemikiran Zuhairi lahir dari keyakinannya bahwa tidak ada truth claim. Masing-masing orang bebas mengekpresikan keyakinannya dalam beragama. Setiap individu memiliki pendapat akan kebenaran. Hal ini searah dengan ajaran theosofi yang mengajarkan bahwa manusia sejati adalah kebenaran dan kebenaran menurut theosofi tidak dapat dimonopoli. Setiap orang mempunyai kebenaran dan kenyataan sendiri[45].

4. Pluralisme Bukan Toleransi
Jika pluralisme ini dianggap sebagai cara bertoleransi terhadap penganut agama lain, maka Diana L. Eck membantah pendapat tersebut dalam tulisannya What is pluralisme,"nieman reports God in the newsroom issue" bahwa pluralisme tidak hanya bermakna toleransi, tetapi merupakan pencarian secara aktif guna memahami aneka perbedaan (the encounter of commitments) dengan kata lain mengharapkan kesamaan dalam agama-agama[46].
Hal ini juga senada dengan Syafi`i Anwar Direktur International Centre for Islam and Pluralism (ICIP) mengatakan bahwa: pluralisme itu mengakui keberagamaan orang lain, tanpa harus setuju. Selain itu, yang terpenting, bukan sekadar menjadi toleran, melainkan menghormati ajaran agama orang lain. Dan sadar betul bahwa keberagamaan orang lain itu bagian yang sangat fundamental dan inheren dengan hak asasi manusia[47]," juga mengatakan konsep pluralisme yang tidak sekadar toleransi, tetapi lebih menuju kepada penghormatan (respect) kepada yang lain (the others)[48]
Dalam konsep Islam mengakui perbedaan dan identitas agama-agama, tetapi tidak sampai pada tingkat pembenaran terhadap teologinya. Islam tetap mengakui kesalahan teologi agama yang lain bahkan sampai tingkat mengoreksi, tetapi Islam juga tidak memaksakan mereka untuk masuk Islam. Islam juga membiarkan agama selain Islam untuk melaksanakan ritual agamanya, selama tidak mengganggu agama Islam. Ini berarti Islam tidak mentolerir persamaan agama (lakum dinukum wa liyadin)[49].


H.    Penutup
Pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekedar sebagai kebaikan negatif (negatif good), hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme. Pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban, bahkan pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya.

  
 DAFTAR BACAAN


Arif, Syamsyuddin., Orientalis & Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gema Insani, 2008.

Artawijaya, Gerakan Theosofi di Indonesia, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010.

Aslan, Adnan., Pluralisme Agama dalam Filsafat Islam dan Kristen Seyyed Hossein Nasr dan John Hick, (terj) Munir,  Bandung: Alifya, 2004.

Baso, Ahmad dalam Sururin (ed), Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam, Bandung: Kerjasama Fatayat NU dan The Ford Foundation, 2005.

Biyanto., Pluralisme Keagamaan dalam perdebatan Pandangan Kaum Muda MuhamMadiyah, Malang: UMMPRESS, 2009.

Budiman, Arief., dalam Dialog Kritik dan Identitas Agama, Seri Dian I/Tahun I Yogyakarta: Dian/Interfidei, 1993.

Cholil, Suhadi (ed), Resonansi Dialog Agama dan Budaya, Yogyakarta: CRCS (Centre for Religious & Cross-cultural Studies) 2008.

Ghazali, Abd Ghazali., Argumen Pluralisme Agama, Depok: Katakita, 2009.

Hick, John dan  Bebblethwaite, Brian (eds.), Philosophy of Religion, Prentice Hall, 1990.

Hidayat, Komaruddin dan Nafis, Muhamad Wahyu., Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perenial, Jakarta: Gramedia, 2003.

Husaini, Adian dan Hidayat, Nuaim., Islam Liberal Sejarah Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabanya, Jakarta: Gema Insani, 2002.

______________, Pluralisme Agama Parasit Bagi Agama-Agama, Jakarta: Media Da`wah, 2006,

Islmail, Faisal., Sekulerisasi Membongkar Kerancuan Pemikiran Nurcholish Madjid, Yogyakarta: Pessantren Nawasea, 2008.

Katimin, Politik Masyarakat Pluralis, Bandung: Citapustaka, 2010.

______, Isu-Isu Islam Kontemporer, Bandung: Citapustaka, 2006.

Lagenhausen, Muhammad., (terj) Arif Muladi, Satu Agama atau Banyak Agama, Jakarta: Lentera, 2002.

Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1995.

________________, Islam Agama Peradaban, Jakarta: Paramadina, 2000.
Mulkhan, Abdul Munir., Satu Tuhan  Beribu Tafsir, Yogyakarta: Kanisius, 2007.

Munawar-Rahman, Budhy., Islam Pluralis Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, Jakarta: Raja Grafindo Persada 2004.

Nasr, Sayyed Hossein., Knowledge and The Sacred, Albany: State University of New York, 1989

Qodir, Zuly., Islam Liberal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, (Edisi Revisi) 2007.

__________, Muhammadiyah dan Pluralisme Agama," dalam Pluralisme dan Liberalisme: Pergolakan Pemikiran Anak Muda Muhammadiyah, (ed.) Imron Nasri,  Jogjakarta: Citra Karsa Mandiri, 2005.

Saiyad Fareed Ahmad dan Saiyad Salahuddin Ahmad, (terj) Rudy Alam, 5 Tantangan Abadi Terhadap Agama dan Jawaban Islam Terhadapnya, Bandung: Mizan, 2008.

Shihab, Alwi., Islam Inklusif, Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Bandung: Mizan, 1997.

Subkhan, Imam., Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme di Yogya, Yogyakarta: Kanisius, 2007.

Sunardi, St. Dialog: Kritik dan Identitas Agama, Yogyakarta: Dian/Interfidei, 1993.

Sururin (ed), Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam, Bandung: Fatayat NU dan The Ford Foundation, 2005.

Thoha, Anis Malik., Tren Pluralisme Agama, Tinjauan Kritis, Jakarta: Perspektif 2005.
Wahid, Abdurrahman (ed), Dialog Pemikiran Islam Realitas Empirik, Yogyakarta: LKPSM NU 1993.

Zarkasyi, Hamid Fahmy., Paham Pluralisme Agama, Makalah disampaikan pada Acara Training Da'i tetang Aqidah dan Pemikiran Islam, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, di Cilegon Banten, pada Ahad, tanggal 27 Mei 2007.

____________________, Liberalisasi Pemikiran Islam, Ponorogo, Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS), 2007.
DAFTAR ISI



Halaman


A.  Pendahuluan         …………………………………………………...…     1     
B.  Arti Pluralitas dan Pluralisme      …………………………………..….     2
C.  Latar Belakang Munculnya Gerakan Pluralisme di Indonesia    ………     3
D.  Beda Pemahaman (Sisi Positif & Negatif Pluralisme) ………………...     4
E.  Alqur’an dan Pluralisme   …………………………………..…………..     7
F.  Tantangan dan Hambatan Pluralisme       ………………........................    11
G.  Pemikiran Islam dan Praktik Pluralisme di Indonesia  ………………...    14
1. Pluralisme Basis Relativisme    …………………………………..….     17
2. Pluralisme Basis Nihilisme       …………………………………..….     22
3. Pluralisme Basis Theosofis       …………………………………..….     24
4. Pluralisme Bukan Toleransi      …………………………………..….     28
H.  Penutup     ……………………………………………………………...     29
Daftar Bacaan








[1] Katimin, Isu-isu Islam Kontemporer, (Bandung: Citapustaka Media, 2006), h. 213.
[2] Ibid, h. 213.
[3] Ibid, h. 216.
[4] Ibid, h. 216.
[5] Lihat, Michael Fathers et, Pembantaian Tiannanmen Tragedi Sebuah Gerakan Moral, (Jakarta: Pustaka Grafiti, 1990), h. 87.
[6] Abdul Rohim Ghazali (dkk), 70 Tahun Ahmad Syafi’I Ma’arif: Muhammadiyah & Politik Islam Inklusif, ((Malang: UMMPRESS, 2009), h. 42.


[7] http://www.suaramerdeka.com/harian/10/01/11/nas12.htm
[8] Q.S. Yunus: 99.
[9] Q.S. An-Nahl: 93.
[10] Q.S. Al-Kafirun: 4.
[11] Q.S. Al-Baqarah: 256.
[12] Ibid.
[13] Q.S. Al-Imran: 85.
[14] Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam, (Ponorogo: Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS), 2007), hal. 92-98

[15] Ibid, h. 98.
[16] "Ke depan diperlukan langkah-langkah yang terencana dan sistemik untuk mereposisi peran agama di dalam masyarakat Indonesia. Agama jangan lagi dijadikan sebagai alat control, terlebih lagi sebagai alat untuk mendominasi". Siti Musdah Mulia, dalam Sururin (ed), Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam, (Bandung: Fatayat NU dan The Ford Foundation, 2005) hal. 238-239.
[17] Ahmad Syafi’i Ma’arif, mantan Ketua PP Muhammadiyah, menyatakan, ”sekali pemahaman akan wahyu memasuki akal manusia, siapapun manusia itu, ia akan memasuki wilayah kenisbian. Tidak boleh diklaim sebagai suatu kebenaran. Akal manusia tidak akan sampai mengetahui hakekat kebenaran. Sehingga, konsekwensinya juga tidak bisa mengetahui hakekat kebatilan. Akhirnya tidak boleh mengatakan bahwa apa yang diyakini oleh seseorang benar atau batil. Menurut pernyataan beliau ini, bahwa kebenaran absolute hanya dimiliki oleh Tuhan. Jika wahyu Tuhan telah memasuki akal manusia, maka kebenaran itu menjadi relative dan nisbi, sebab manusia sifatnya adalah relative. Syafii Maarif, "Mutlak dalam Kenisbian", Republika 29/12/2006., lihat http://ponpes-almukhtar.blogspot.com dikutip tanggal 20 Desember 2010
[18] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2000), hal. 328-329. Membedakan antara agama dan pemikiran agama. Menurut beliau, agama adalah absolut sebab datang dari Tuhan, sedangkan pemikiran agama adalah relatif sebab telah masuk ke akal/pemahaman manusia, dan manusia adalah relatif.
[19] M. Khoirul Muqtafa, dalam Sururin (ed), Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam, h. 240.
[20] Biyanto, Pluralisme Keagamaan dalam Perdebatan, (Malang: UMMPress, 2009), hal. 170.
[21] Q.S. Al-Hujarat: 13.
[22] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, hal. 329.
[23] Ahmad Syafi’i Ma’arif, "Mutlak dalam Kenisbian", Republika 29/12/2006, (Diakses, 20 Desember 2010)
[24] http://no-liberal.blogspot.com/ dikutip tanggal 20 Desember 2010
[25] Q.S. Al-Hujarat: 10.
[26] Budhy Munawar-Rahman, Islam Pluralis Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta: Raja Grafindo Persada 2004), h. 37
[27] Ibid, h. 39-40.
[28] Eksklusif, adalah pandangan bahwa agama adalah satu-satunya jalan yang sah untuk keselamatan. Jika dalam Katolik terdapat  ajaran extra ecclesiam nulla salus atau extra ecclesiam nullus propheta. Pandangan ini dikukuhkan pada konsili 1442. di antara para tokoh Protestan yang berpandangan ini adalah Karl Barth dan Hendrick Kraemer jika dalam agama Islam QS. al-Maidah [5]: 3, QS. al-Imron [3]: 85 dan QS al-Imron [3]: 19.
Inklusif adalah pandangan yang membedakan antara kehadiran penyelamatan (the salvific presence) dan aktivitas Tuhan dalam tradisi agama-agama lain, dengan penyelamatan dan aktivitas Tuhan. Artinya dalam agama-agama lain terdapat jalan keselamatan (kebenaran) tetapi agama yang diyakininya adalah jalan yang terbaik untuk meraih keselamatan (kebenaran). Dalam agama Katolik teologi ini muncul setelah Konsili Vatikan II tahun 1965. untuk menguatkan argumentasinya ini lihat QS. al-Maidah [5]: 48
Paralelisme adalah sikap petengahan antara eksklusif dan inklusif. Yaitu, pandangan yang  mempercayai bahwa setiap agama memiliki jalan keselamatannya sendiri-sendiri bukan agamanya yang paling memiliki kebenaran (eksklusif) atau agama lain adalah sebagai pelengkap agamanya (inklusif) atau setiap agama merupakan jalan-jalan yang sama menuju pada kebenaran. Sikap ini oleh John Hick disebut dengan Plularisme dalam bukunya God and the Universe of Faiths, Lihat  Budhy Munawar-Rahman, Islam Pluralis Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, hal. 56-66.
[29] Alwi Shihab, dalam Sururin (ed) kata pengantar, Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam, h. 17
[30] Ibid, h. 20.
[31] St. Sunardi, Dialog: Kritik dan Identitas Agama, (Yogyakarta: Dian/Interfidei 1993), h. 69.
[32]http://edukasi.kompasiana.com/2010/12/20/konsep-proyeksi-sang-filsuf-ateis-ludwig-feuerbach.
[33] Hamid Fahmy Zarkasyi, Agama Dalam Pemikiran Barat dan Post-Modern, (Jakarta: Islamia, 2005), h. 38
[34] http://www.duniaesai.com/filsafat/fil11.(Diakses, 20 Desember 2010)
[35] Theosofis terdiri dari dua suku kata "theos" (Allah) dan "Sophia" (kebijaksanaan). Pencarian pengetahuan yang tidak didapatkan dengan panca indera tetapi dengan merenung. Menurut ajaran teosofi, manusia tidak membutuhkan Allah. Ia harus mencari kesempurnaan sendiri. Alam semesta, jadi juga manusia, adalah penampakan dari Allah. Manusia harus mencari kesempurnaan. Kesempurnaan ini tidak dicapai dalam satu hidup. Jiwa tidak binasa kalau orang mati. Tapi jiwa ini akan pindah menjadi hal lain. Kalau orang hidup baik, jiwanya akan menjadi hal yang lebih tinggi, kalau ia hidup jahat, ia menjadi hal yang lebih rendah. Inilah ajaran reinkarnasi. Jadi setiap hal menerima sepadan dengan jasa-jasanya sendiri, baik atau jahat (hukum karma). Kesempurnaan dicapai sebagai yang tertinggi yang disebut nirwana. R. Soedarmo, Kamus Istilah Teologi, (Jakarta: Gunung Mulia, 1994), h. 95.
[36] Artawijaya, Gerakan Theosofi di Indonesia (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010),h.16.
[37] Ibid, 55.
[38] Iskandar P. Nugraha, Mengikis batas Timur dan Barat: Gerakan Theosofi dan Nasionalisme Indonesia, Lihat, Adian Husaini dan Nuaim Hidayat, Islam Liberal Sejarah Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabanya, (Jakarta: Gema Insani, 2002)., hal.124.
[39] "Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat." QS Al-Hujurat: 10
[40] Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung." QS Al-Mujadalah: 22
[41] Komaruddin Hidayat dan Muhamad Wahyu Nafis, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perenial, (Jakarta: Gramedia, 2003), h. 130.
[42] Ibid, h. 132.
[43] Zuhairi Misrawi, Pluralisme Pasca Gus Dur,  http://cetak.kompas.com tanggal 04 Januari 2010
[44] Ibid.
[45] Artawijaya, Gerakan Theosofi di Indonesia, h. 60.
[46] Diana L. Eck dalam Biyanto, Pluralisme Keagamaan dalam Perdebatan, h. 50.
[47] Syafi`i Anwar, Disertasi: Negara dan Islam Politik di Indonesia: Sebuah Studi Politik Negara dan Perilaku Politik Pemimpin Muslim Modernis di Bawah Rezim Orde Baru Soeharto 1966-1998”. h. 65.
[48] http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/s/syafii-anwar/berita/01.shtml dikutip tanggal 20 Desember 2010
[49] Henri Shalahuddin, Al-Kafirun, Islamia Jurnal Pemikiran Islam Republika, 14 Januari 2010. Kholili Hasib, Kerancuan Wacana Titik Temu Agama, diterbitkan oleh www.hidayatullah.com pada tanggal 25 Juli 2009 dan dikutip pada tanggal 20 Desember 2010.

0 komentar:

Post a Comment