PEMIKIRAN ISLAM TENTANG PLURALISME
oleh Edi Sucipno
A. Pendahuluan
Pemikiran yang menganggap
semua agama itu sama telah lama masuk ke Indonesia dan beberapa negara Islam
lainnya. Tapi akhir-akhir ini pikiran itu menjelma menjadi sebuah paham dan
gerakan pembaharuan yang kehadirannya serasa begitu mendadak, tiba-tiba dan
mengejutkan. Umat Islam seperti mendapat kerja rumah baru dari luar rumahnya
sendiri. Padahal umat Islam dari sejak dulu hingga kini telah biasa hidup di tengah
kebhinekaan atau pluralitas agama dan
menerimanya sebagai realitas sosial. Piagam Madinah dengan jelas sekali
mengakomodir pluralitas agama saat
itu dan para ulama telah pula menjelaskan hukum-hukum terkait. Apa sebenarnya dibalik
gerakan ini?
Sebenarnya faham inipun bukan
baru. Akar-akarnya seumur dengan akar modernisme
di Barat dan gagasannya timbul dari perspektif dan pengalaman manusia Barat.
Namun kalangan umat Islam pendukung paham ini mencari-cari akarnya dari kondisi
masyarakat Islam dan juga ajaran Islam. Kesalahan yang terjadi, akhirnya adalah
menganggap realitas kemajemukan (pluralitas)
agama dan paham pluralisme agama adalah
sama saja. Bahkan, pluralisme agama
malah dianggap realitas dan sunnatullah. Padahal keduanya sangat
berbeda.
Pluralitas agama
adalah kondisi di mana berbagai macam agama wujud secara bersamaan dalam suatu
masyarakat atau Negara. Sedangkan pluralisme
agama suatu paham yang menjadi tema penting dalam disiplin sosiologi, teologi dan filsafat
agama yang berkembang di Barat dan juga agenda penting globalisasi.
Solusi Islam terhadap adanya pluralitas agama adalah dengan mengakui
perbedaan dan identitas agama masing-masing (lakum
diinukum wa liya diin). Tapi solusi paham pluralisme agama diorientasikan untuk menghilangkan konflik dan
sekaligus menghilangkan perbedaan dan identitas agama-agama yang ada. Jadi
menganggap pluralisme agama sebagai sunnatullah adalah klaim yang berlebihan
dan tidak benar.
B. Arti Pluralitas
dan Pluralisme
Pluralitas adalah kemajemukan
yang didasari oleh keutamaan (keunikan) dan kekhasan.[1]
Karena itu pluralitas tidak dapat
terwujud atau diadakan atau terbayangkan keberadaannya kecuali sebagai antitesis dan sebagai objek komparatif dari keseragaman dan kesatuan yang merangkum
seluruh dimensinya. Tanpa adanya kesatuan yang mencakup seluruh segi, maka tidak
dapat dibayangkan adanya kemajemukan, keunikan, dan kekhasan atau pluralitas itu.
Pluralitas mempunyai
tingkatan-tingkatan yang ditentukan oleh faktor: “penyatu dan pengikat” yang
menyatukan dan mengikat masing-masing dimensinya dalam satu kesatuan. Namun
demikian, dalam kehidupan sosial keagamaan era modern sekarang ini ditandai oleh semakin seringnya pertentangan
dan bentrok kultural, sosial, etnis, dan agama yang melibatkan masyarakat
sipil, seperti yang terjadi di Aceh, Maluku, Poso dan Ambon dan melibatkan
militer seperti yang terjadi di Kasmir, Irlandia dan Irak. Hal ini menambah
alasan betapa pentingnya untuk mengembangkan dan memperkaya intensitas saling tukar menukar
pengetahuan atau dialog berbagai agama (aspek doktrin) dalam kehidupan sosial keagamaan.[2]
Sedangkan pluralisme ialah
paham kemajemukan atau paham yang berorientasi kepada kemajemukan yang memiliki
berbagai penerapan yang berbeda dalam filsafat agama, moral, hukum dan politik
yang batas kolektifnya adalah pengakuan atas kemajemukan di depan keunggulan.[3] Pluralisme agama, yang berarti bahwa
hakekat dan keselamatan bukanlah monopoli satu agama tertentu. Semua agama
menyimpan hakekat yang mutlak dan sangat agung.[4]
Dengan kata lain, pluralisme dapat diartikan sebagai paham yang mentoleransi
adanya keragaman pemikiran, peradaban, agama, dan budaya. Bukan hanya mentoleransi
adanya keragaman pemahaman tersebut, tetapi bahkan mengakui kebenaran
masing-masing pemahaman, setidaknya menurut logika para pengikutnya.
C.
Latar Belakang Munculnya Gerakan Pluralisme di Indonesia
Paham ini muncul akibat reaksi
dari tumbuhnya klaim kebenaran oleh masing-masing kelompok terhadap
pemikirannya sendiri. Persoalan klaim kebenaran inilah yang dianggap sebagai
pemicu lahirnya radikalisasi agama,
perang dan penindasan atas nama agama. Konflik horisantal antar pemeluk agama
hanya akan selesai jika masing-masing agama tidak menganggap bahwa ajaran agama
meraka yang paling benar. Itulah tujuan akhir dari gerakan pluralisme untuk menghilangkan keyakinan akan klaim kebenaran agama
dan paham yang dianut, sedangkan yang lain salah.
Di Indonesia, gerakan ini
muncul dari sebuah pemikiran Budy Munawar Rachman dan Djohan yang waktu itu
masih mahasiswa yang ikut terlibat dan concern,
terhadap nasib negeri ini di bawah penguasa rezim yang otoriter. Mereka membentuk sebuah Kelompok Studi Proklamasi (KSP).
Mereka tidak melakukan
perlawanan frontal, hanya ingin
memelihara dan menumbuhkan kritisisme dengan cara membangun informasi dan
publikasi antar mahasiswa dan kaum intelektual, karenanya fokus kegiatan mereka
adalah diskusi dan publikasi buku serta ingin merespon dan mengkritik dampak
pembangunan orde baru yang dirasakan semakin menyengsarakan rakyat. Karena
kalau dituntut secara demontrasi akan berakhir dengan tragedi pembantaian
seperti yang terjadi pada mahasiswa di Cina oleh rezim penguasa di lapangan
Tiananmen[5],
telah memicu rasa solidaritas. Hal lain juga diakibatkan oleh adanya konflik
agama dan politik.
Sebenarnya pluralisme itu sudah dilakukan oleh
Muhammad Hatta, walaupun belum dikenal istilah plural. Ketika pemberlakuan ”Piagam Jakarta”, ia menyakinkan
golongan Islam untuk menghilangkan ”tujuh kata” penting dalam Piagam Jakarta:
”Dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya”, dan digantikan
dengan kalimat Ketuhanan Yang Maha Esa yang juga menegaskan semangat tauhid dan
keislaman yang inklusif menjauhi dogmatisme yang kaku, berusaha mencari ”kalimatun sawa” atau ”common
platform” dalam berbangsa dan bernegara.[6]
Inilah awal mengapa gerakan pluralisme ada
di Indonesia.
D.
Beda
Pemahaman (Sisi Positif & Negatif Pluralisme)
Pluralisme, yang belakangan
menjadi wacana paling hangat dikalangan umat beragama, menyusul fatwa Majelis
Ulama Indonesia (MUI) yang melarang paham ini, memang masih dipahami masyarakat
secara beragam (plural) pula. Ya,
terjadi pluralisme dalam memahami pluralisme. Bagaimana solusi untuk
mengatasi beda pemahaman ini?
Melihat praktik pluralisme yang
dikembangkan sejumlah ormas dan partai Islam beserta tokoh-tokoh muslim di
dalamnya, dan melihat fatwa MUI yang melarang faham keberagaman, tentu
menimbulkan prasangka: ada apa di balik semua ini? Mengapa fatwa itu datang
tanpa ada sebab yang memadai, terkecuali fatwa tentang liberalisme yang dapat dikaitkan dengan Jaringan Islam Liberal. Kelompok progresif-liberal yang dipimpin pemikir muda Ulil Abshar Abdala itu
belakangan dianggap makin ”menggelisahkan” sebagian kaum muslimin di Indonesia.
Dalam forum Munas Ke-7 di Jakarta, yang berakhir 29 Juli lalu, MUI
mengeluarkan 11 fatwa. Salah satunya menyatakan bahwa pluralisme, sekularisme, dan liberalisme
bertentangan dengan ajaran Islam. Selain itu, ada tiga fatwa lain yang
berkaitan dengan kehidupan beragama di Tanah Air.
Pertama, fatwa bahwa perkawinan
beda agama adalah haram dan tidak sah. Kedua,
hukum waris Islam tidak memberikan hak saling mewarisi antara orang-orang yang
berbeda agama. Ketiga, doa bersama
yang dilakukan orang-orang Islam dan nonmuslim tidak dikenal dalam Islam, dan
itu termasuk bid’ah. Haram hukumnya apabila orang muslim dan nonmuslim
melakukan berdoa bersama secara serentak.
Berbeda dari fatwa lain yang disikapi hampir seragam, misalnya ajaran Ahmadiyah yang dinyatakan berada di luar
Islam dan sesat, sikap umat Islam terhadap fatwa (terutama) plularisme ini disikapi secara beragam.
Sebagian ulama atau tokoh Islam yang lain menyebutnya sebagai ”fatwa kontroversial”. Sebab
implikasinya sangat luas di tengah masyarakat yang memiliki beragam pola pikir
dan pemahaman mengenai agama.
Sejumlah tokoh agama seperti Dawam Rahardjo, Uli Abshar Abdala, dan
Djohan Effendi segera menemui Ketua Umum Dewan Syuro PKB KH Abdurrahman Wahid
(Gus Dur). Gus Dur yang dikenal sebagai pluralis
langsung menentang keras fatwa tersebut. ”Indonesia bukan negara yang didasari
satu agama tertentu. MUI juga bukan institusi yang berhak menentukan apakah
sesuatu hal itu benar atau salah,” kata dia.
Pluralisme, menurut Ketua Umum
PBNU KH Hasyim Muzadi, justru merupakan dasar hubungan antar umat beragama di
Indonesia yang masyarakatnya sangat majemuk. ”Ini bisa merisaukan suasana yang
kondusif bagi penciptaan kerukunan hidup beragama. Sebab masyarakat kita tidak
tahu apa yang dimaksud dengan pluralisme
oleh MUI,” tegas Azyumardi Azra, rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Dalam konteks berprasangka baik (husnudz
dzon), barangkali memang ada pemahaman berbeda di antara elite MUI dan
sebagian ulama tentang arti pluralisme
itu sendiri. Bahkan, perbedaan pemahaman itu juga muncul di kalangan nonmuslim.
Di kalangan umat Nasrani, sosok pluralis
makin langka sepeninggal Pendeta Dr Th Sumartana dan Romo Mangun (YB
Mangunwijaya).
Azyumardi pun menduga ada beda pemahaman mengenai pluralisme, sekularisme,
serta liberalisme antara wacana
akademik (termasuk sebagian pemikir Islam) dengan cara pandang MUI. Misalnya, liberalisme yang diharamkan MUI yaitu
pemikiran yang menggunakan pikiran manusia secara bebas (bukan pemikiran yang
berlandaskan pada agama).
Sekularisme yang diharamkan
adalah paham yang mengangap agama sekadar mengatur hubungan antara manusia dan
Tuhan, sementara hablu minan naas tak
bisa diatur agama. Kemudian pluralisme yang
diharamkan adalah pandangan bahwa semua agama sama, relatif, dan tak boleh
mengklaim agamanya itu sebagai satu-satunya jalan kebenaran.
Di sisi lain, sebagian tokoh Islam melihat pluralisme ini dari sudut pandang yang berbeda. Karena itu, sangat
penting bagi masing-masing pihak untuk duduk bersama guna menyamakan persepsi
mengenai pluralisme. Namun hingga
sepekan setelah fatwa itu diumumkan ke publik, belum ada upaya dialog antara tokoh-tokoh
agama dan MUI dan pemerintah untuk mencairkan kebekuan ini.
Sikap ini akhirnya diambil oleh Gus Dur yang langsung mendatangi Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono di Istana. Isu utamanya tak lain menyoal fatwa MUI,
baik mengenai ajaran Ahmadiyah maupun
pluralisme, sekularisme, dan liberalisme. Sedangkan Wapres Jusuf
Kalla hanya meminta para ulama memberi pemahaman dan pencerahan kepada
masyarakat tentang bagaimana cara menyikapi perbedaan pandangan ini.
Ya, pluralisme masih sering
dipahami secara keliru. Yang seringkali terjadi adalah pandangan bahwa semua
agama yang berbeda itu sebagai sebuah kesamaan. Sebagian pluralis, antara lain M Syafi’i Anwar, menilai paham ini ”hanya”
sekadar mengakui keberagaman orang lain, termasuk dalam beragama, tapi tidak
harus setuju.
Sikap seorang pluralis itu
tidak serta merta diterjemahkan sebagai toleran (tolerant) terhadap ajaran dan pemeluk agama lain, melainkan
sekadar penghormatan (respect). Dalam
konteks kebangsaan, atau keindonesiaan, sikap saling menghormati menjadi wacana
yang amat penting di tengah keberagaman masyarakat Indonesia. Bahkan,
keberagaman menjadi bagian paling fundamental
serta inhern dengan hak asasi
manusia, apalagi dalam kehidupan modern, hampir
tidak ada kelompok masyarakat yang anggotanya homogen. Meski dalam kelompok kecil, mereka selalu terdiri atas
masyarakat yang majemuk, baik mengenai suku, bahasa, warna kulit, agama, atau
sebagainya.
Keberagaman merupakan hukum Allah (sunatullah)
yang siapa pun tidak bisa menolaknya. Banyak faktor yang bisa dikemukakan
mengenai kemajemukan umat manusia. Ibnu Khaldun pernah menganalisa kemajemukan
manusia dari pengaruh alam dan cuaca, dengan membaginya dalam berbagai zona.
Dalam seminar ”Agama dan Masyarakat” yang digelar UKSW Salatiga (1997),
cendekiawan muslim Komaruddin Hidayat menggambarkan pluralisme dengan sangat menarik. ”Kita ini berada dalam satu ruang
yang sempit, dalam ‘perahu’ yang satu, dalam planet bumi yang satu, bahkan
dalam bilik yang satu, yaitu Indonesia. Kalau kita berantem, ya lemari hancur,
komputer hancur, dan sebagainya”.
Di negara Barat, tokoh pluralis
bahkan menggunakan kalimat lebih ”keras”, untuk menyadarkan arti penting
keberagaman. Paul Knitter (1985), misalnya, menganggap semua agama relatif: terbatas, parsial, dan tidak lengkap dalam melihat sesuatu. ”Menganggap agama
yang satu lebih baik dari agama lain adalah ofensif,
berpandangan sempit,” ujarnya.[7]
E. Alqur’an dan Pluralisme
Bagaimana pluralisme dalam
pandangan Islam? Pluralisme, yang di
kalangan umat muslim Indonesia masih sebatas wacana dan kurang dipraktikkan
dalam kehidupan nyata, sebenarnya dikupas cukup banyak dalam Alquran maupun
hadis. Misalnya QS Yunus: 99,
”Jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang
berada di muka bumi ini seluruhnya. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia
supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman?” (Q.S. Yunus: 99)[8]
Hal senada juga terdapat dalam QS An-Nahl: 93,
”Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu
umat saja. Tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi
petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya
tentang apa yang kamu perbuat” (Q.S.
An-Nahl: 93)[9]
Jadi, kehendak untuk menciptakan keberagaman bukan datang dari manusia, melainkan
justru datang dari Tuhan, dengan segala maksud dan tujuan-Nya. Apabila semua
orang memeluk Islam, atau sebaliknya jika semuanya bukan Islam, bagaimana
konteks ”Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku” (QS Al-Kafirun: 4)[10]
Iwur O$tRr&
ÓÎ/%tæ $¨B ÷Lnt6tã ÇÍÈ
Tanpa keberagaman, tidak bisa dibayangkan bagaimana bentuk kehidupan
dunia. Yang akan terjadi hanya kejenuhan, stagnan, kebosanan, bahkan
kehancuran. Homogenitas yang
dikembangkan sistem komunis pun terbukti hancur. Apabila semua orang kaya,
siapa yang bisa menjalankan rukun Islam keempat (zakat), karena tidak ada lagi
fakir-miskin?
Dalam sejarah pun, Nabi Muhammad Saw telah memberi teladan mengenai
bagaimana hidup bersama dalam keberagaman. Di Madinah, Rasulullah punya
tetangga seorang Yahudi. Ketika menyembelih kambing, Nabi mengirim daging yang
sudah dimasak kepada orang Yahudi tadi. Apa itu artinya?
Komunitas di luar Islam, sepanjang berperilaku baik dan tidak memusuhi
Islam, harus diperlakukan secara baik pula. Fanatisme
dalam beragama tidak harus menghilangkan sikap saling menghormati dengan umat
beragama lainnya. Kesadaran ini juga berlaku dalam menyikapi berbagai aliran
dalam suatu agama, apakah Islam, Nasrani, Hindu, dan sebagainya.
Dalam Perang Khaibar, melawan orang-orang Yahudi yang memusuhinya,
Rasulullah menemukan sebuah Taurat. Dia langsung memerintah sahabatnya agar
mengembalikan kitab suci itu kepada pemiliknya, siapa tahu diperlukan untuk
mendidik anak-anaknya.
Dalam sebuah hadis, riwayat Ibnu Abbas, seorang lelaki datang kepada
Nabi, meminta izin untuk memaksa anaknya yang beragama Nasrani agar beralih
menjadi muslim. Apa jawab Nabi? Beliau menolak permintaan itu, sambil
membacakan ayat yang melarang pemaksaan seseorang dalam beragama. “Tidak ada
paksaan untuk memeluk agama Islam. Sesungguhnya telah jelas antara jalan yang
benar dari jalan yang sesat.”
Tidak ada
paksaan untuk (memasuki agama Islam), Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar
daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan
beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali
yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha
mengetahui. (QS Al-Baqarah: 256)[11]
Selanjutnya yang paling humanis adalah
peristiwa Rasulullah dalam suatu majelis. Tiba-tiba ia berdiri, saat
menyaksikan serombongan orang membawa jenazah. Para sahabat mengetahui jenazah
tersebut adalah orang Yahudi. ”Ya, Rasulullah, bukankah itu jenazah orang
Yahudi?” Apa jawab Nabi? ”Dia juga jiwa (manusia).”
Dalam Islam sendiri terdapat pluralisme,
misalnya adanya Syiah, Sunni, dan sebagainya, mereka sama-sama bagian dari
Islam. Dalam hal ini, Imam Syafi’i pun telah memberi teladan yang baik. Imam
Syafi’i, yang mazhabnya menjadi panutan mayoritas umat Islam Indonesia, tidak
melakukan doa qunut, ketika jadi imam salat subuh di sebuah masjid di Irak. Dia
tahu, masyarakat Irak adalah pengikut mazhab Imam Hanafi yang tidak menyetujui
qunut.
Maka, kalau Imam Syafi’i saja bisa luwes, mengapa umat muslim di
Indonesia tidak mau melakukan seperti panutannya? Dalam analisa Buya Hamka,
Imam Syafi’i lebih mengutamakan keharmonisan dalam bermasyarakat. Dia tak ingin
mengganggu perasaan dan kebiasaan warga Irak yang tidak berqunut. Tidak perlu
ada sikap saling mengecam, menyalahkan, dan menganggap diri sendiri sebagai
paling benar.
Melihat contoh-contoh di atas, mestinya tak ada keraguan sedikit pun
bahwa Islam secara doktriner adalah
agama yang sangat toleran. Komaruddin bahkan menyebutnya paling toleran,
sedangkan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin menganggap pluralisme sebagai suatu sunatullah
mesti didorong atas dasar saling memahami, menghargai, dan toleran. ”Islam
justru memberikan jaminan dalam beragama maupun tidak beragama,” ujarnya.
Akhirnya yang jadi persoalan adalah sikap umat Islam tak selalu konkruen. Sebagian menganggap
pemahamannya selalu benar, padahal kebenaran absolut hanya milik Tuhan. Maka, beragama tidak pernah usai, dan
selalu berada dalam proses. Sepanjang yang beragama itu manusia, maka manusia
akan selalu berkembang.
Di sinilah kita perlu mengubah mindset
(kerangka berpikir) yang masih keliru. Kita mesti belajar untuk duduk bersama,
saling mendengar dan bertukar pikiran, baik dengan sesama muslim maupun
nonmuslim. Upaya untuk mencairkan kebekuan wacana pluralisme juga bisa dipercepat dengan jalan mengintensifkan
pendidikan pluralisme dan multikulturalisme di sekolah-sekolah.
Lembaga pendidikan dianggap media yang paling tepat untuk mereparasi mindset seseorang. Misalnya diawali dari
sejarah agama-agama lebih detail. Dengan memahami sejarah, seseorang cenderung
sulit menjadi radikal terhadap agama maupun penganut agama lain.[12]
F. Tantangan dan Hambatan Pluralisme
Dalam mengajarkan gagasan ini
mereka sering mengumpamakan agama dengan tiga orang buta yang menjelaskan tentang
bentuk gajah. Ketiga orang buta itu diminta untuk memegang gajah, ada yang
memegang telinganya, ada yang memegang kakinya, dan ada yang memegang
belalainya. Setelah mereka semua memegang gajah, lalu mereka bercerita satu
sama lain. Orang buta yang memegang belalai mengatakan bahwa gajah itu seperti
pipa, yang memegang telinganya berkata bahwa gajah seperti kipas yang lebar dan
kaku, dan yang memegang kaki mengatakan bahwa gajah seperti pohon besar yang
kokoh.
Dengan berpijak pada cerita
tersebut lalu mereka mengatakan bahwa semua agama pada dasarnya menyembah Tuhan
yang sama, meskipun cara penyembahannya berbeda-beda.
Bagi para penggiat pluralisme dari kalangan kaum muslimin
mereka pun menyitir ayat-ayat yang mengandung gagasan pluralisme. Di antara ayat yang sering mereka sitir adalah: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama
(Islam); (al-Baqarah:256), “Sesungguhnya orang-orang mu’min, orang-orang
Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (di antara mereka) yang
benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak
ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (al-Baqarah:62).
Dengan kemampuan mereka
memahami bahasa Arab yang cukup baik, mereka suka memelintir makna ayat
sehingga kaum intelektual awam agama percaya kepada mereka. Mari kita perhatikan
ayat 256 surat al-Baqarah, mereka menganggap tidak ada paksaan dalam beragama
berarti pengakuan agama lain. Pemahaman demikian bukanlah pemahaman yang benar.
Untuk lebih memahami makna
tidak ada paksaan ini satu ayat penuh harus difahami secara utuh. Lanjutan ayat
tersebut adalah, “sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang
sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah
berpegang kepada buhul tali yang amat
kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Jika ayat ini dibaca dengan
tuntas maka akan jelas, tidak ada paksaan karena telah jelas yang benar dan
yang salah, Islam itulah yang benar dan yang lainnya adalah salah.
Masing-masing bebas memilih dengan resiko sendiri-sendiri.
Adapun kaum pluralis dalam memaksakan pemahamannya
tak jarang memotong ayat tidak pada tempatnya sehingga seolah-olah benar
padahal tidak benar.
Jika kita lihat ayat 62 surat
al-Baqarah, sekilas memang ayat ini menjelaskan bahwa orang Yahudi jika tetap
beriman dan beramal shaleh akan masuk surga. Orang Nasrani, orang Shabi’in,
selama tetap beriman dan beramal shaleh ia akan masuk surga. Akan tetapi dalam
memahami suatu ayat, para ulama telah menganjurkan agar menggunakan riwayat
turunnya ayat, yang disebut dengan asbab
nuzul. Adapun asbab nuzulnya ayat
ini adalah: Salman al-Farisi, tatkala ia menceritakan kepada Nabi Saw
kebaikan-kebaikan guru-gurunya dari golongan Nasrani dan Yahudi. Tatkala Salman
selesai memuji para sahabatnya, Nabi saw bersabda, “Ya Salman, mereka termasuk
ke dalam penduduk neraka.” Selanjutnya, Allah swt menurunkan ayat ini. Lalu hal
ini menjadi keimanan orang-orang Yahudi yaitu, siapa saja yang berpegang teguh
terhadap Taurat, serta perilaku Musa as hingga datangnya Isa as (maka ia
selamat). Ketika Isa as telah diangkat menjadi Nabi, maka siapa saja yang tetap
berpegang teguh kepada Taurat dan mengambil perilaku Musa as, namun tidak memeluk
agama Isa as, dan tidak mau mengikuti Isa as, maka ia akan binasa. Demikian
pula orang Nasrani. Siapa saja yang berpegang teguh kepada Injil dan syariatnya
Isa as hingga datangnya Muhammad Saw, maka ia adalah orang mukmin yang amal
perbuatannya diterima oleh Allah swt. Namun, setelah Muhammad Saw datang, siapa
saja yang tidak mengikuti Nabi Muhammad Saw, dan tetap beribadah seperti
perilakunya Isa as dan Injil, maka ia akan mengalami kebinasaan.”
Ibnu Katsir menyatakan,
“Setelah ayat ini diturunkan, selanjutnya Allah Swt menurunkan surat,
“Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang
merugi.”
Barangsiapa
mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu)daripadanya, dan Dia di akhirat Termasuk orang-orang yang rugi.
(Q.S. Al-Imron: 85)[13]
Ibnu ‘Abbas menyatakan, “Ayat
ini menjelaskan bahwa tidak ada satupun jalan, agama, kepercayaan, ataupun
perbuatan yang diterima di sisi Allah, kecuali jika jalan dan perbuatan itu
berjalan sesuai dengan syari’atnya Muhammad Saw. Adapun, umat terdahulu sebelum
nabi Muhammad diutus, maka selama mereka mengikuti ajaran nabi-nabi pada
zamanya dengan konsisten, maka mereka mendapatkan petunjuk dan memperoleh jalan
keselamatan.”
Ya, kaum pluralis itu mengambil satu ayat dengan mengabaikan ayat-ayat yang
lain. Meraka abaikan ayat: “Sesungguhnya agama yang diridloi di sisi Allah
hanyalah Islam.” (Ali Imron:19). “Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka
sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akherat
termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali Imron:85). Mereka abaikan pula ayat;
“Orang-orang Yahudi berkata: “Uzair itu putera Allah” dan orang Nasrani
berkata: “Al Masih itu putera Allah”. Demikian itulah ucapan mereka dengan
mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknat
Allahlah mereka, bagaimana mereka sampai berpaling?” (al-Taubah:30) “Sungguh
telah kafir, mereka yang mengatakan, “Tuhan itu ialah Isa al-Masih putera
Maryam.”(al-Maidah:72)
Seandainya ide pluralisme agama ini memang diakui di
dalam Islam, berarti, tidak ada satupun orang yang dikatakan kafir. Tetapi alqur’an
dengan sangat tegas menyebut orang ahli kitab yang tidak menerima Islam dengan
sebutan kafir. Firman Allah: ”Sesungguhnya orang-orang kafir dari golongan ahli
kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam, mereka kekal di
dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruknya mahluk (al-Bayyinah:6)
Demikianlah, Islam sama sekali
tidak mengakui kebenaran ide pluralisme.
Islam hanya mengakui adanya pluralitas
agama dan keyakinan. Maknanya Islam hanya mengakui adanya agama dan keyakinan
di luar agama Islam, serta mengakui adanya identitas agama-agama selain Islam.
Islam tidak memaksa pemeluk agama lain untuk masuk Islam. Mereka dibiarkan
memeluk keyakinan dan agama mereka. Hanya saja, pengakuan Islam terhadap pluralitas agama tidak boleh dipahami
bahwa Islam juga mengakui adanya kebenaran pada agama selain Islam. Islam tetap
mengajarkan bahwa agama di luar Islam adalah kesesatan, meskipun diizinkan
hidup berdampingan dengan Islam.
Akhirnya, pluralisme adalah paham sesat yang bertentangan dengan aqidah
Islam. Islam mengajarkan keyakinan bahwa Islam sajalah agama yang benar, yang
diridlai Allah. Orang yang masih mencari agama selain Islam, ia akan rugi,
karena amalnya tidak diterima oleh Allah. Siapapun yang mengakui kebenaran
agama selain Islam, atau menyakini bahwa orang Yahudi dan Nasrani masuk ke
surga, maka dia telah mengingkari ayat-ayat alqur’an yang tegas dan jelas.
Pengingkaran tersebut berakibat pada batalnya keislaman seseorang. Inilah tantangan
dan hambatan yang dihadapi umat Islam saat ini, karena berada di era
globalisasi.
G. Pemikiran Islam dan Praktik Pluralisme di Indonesia.
Dalam paham pluralisme agama yang berkembang di
Barat sendiri terdapat sekurang-kurangnya dua aliran yang berbeda: yaitu paham
yang dikenal dengan program teologi
global (global theology) dan paham kesatuan transenden agama-agama (Transcendent
Unity of Religions[14]).
Kedua aliran ini telah membangun gagasan, konsep dan prinsip masing-masing yang
akhirnya menjadi paham yang sistemik, karena itu yang satu menyalahkan yang
lain.
Munculnya kedua aliran di atas
juga disebabkan oleh dua motif yang berbeda, meskipun keduanya muncul di Barat
dan menjadi tumpuan perhatian masyarakat Barat. Bagi aliran pertama yang
umumnya diwarnai oleh kajian sosiologis motif terpentingnya adalah karena
tuntutan modernisasi dan globalisasi.
Karena pentingnya agama di era globalisasi ini maka hubungan globalisasi dan
agama menjadi tema sentral dalam sosiologi agama, nampaknya agama dianggap
sebagai kendala bagi program globalisasi. Sedangkan motif aliran kedua yang
didominasi oleh pendekatan filosofis dan teologis Barat. Kalangan filosof dan teolog justru menolak arus modernisasi dan globalisasi yang
cenderung mengetepikan agama itu dengan berusaha mempertahankan tradisi yang
terdapat dalam agama-agama itu. Yang pertama memakai pendekatan sosiologis, sedangkan yang kedua memakai
pendekatan religious filosofis.
Solusi yang ditawarkan kedua
aliran inipun berbeda. Berdasarkan motif sosiologis yang mengusung program
globalisasi, aliran pertama menawarkan konsep dunia yang tanpa batas geografis cultural, ideologis, teologis,
kepercayaan dan lain-lain. Artinya identitas kultural, kepercayaan dan agama
harus dilebur atau disesuaikan dengan zaman modern. Kelompok ini yakin bahwa
agama-agama itu berevolusi dan nanti akan saling mendekat yang pada akhirnya
tidak akan ada lagi perbedaan antara satu agama dengan lainnya. Agama-agama itu
kemudian akan melebur menjadi satu. Berdasarkan asumsi itu maka John Hick, salah
satu tokoh terpentingnya, segera memperkenalkan konsep pluralisme agama dengan gagasannya yang disebut global theology. Selain Hick di antara
tokohnya yang terkenal adalah Wilfred Cantwell Smith, pendiri McGill Islamic
Studies. Tokoh-tokoh lain dapat dilihat dari karya Hick berjudul Problems of Religious Pluralism, yang
menulis terjemahannya: kepada kawan-kawan yang merupakan nabi-nabi pluralisme agama dalam berbagai tradisi
mereka: Masau Abe dalam agama Budha, Hasan Askari dalam Islam, Ramchandra Gandhi
dalam agama Hindu, Kushdeva Singh dalam agama Sikh, Wilfred Cantwell Smith
dalam agama Kristen dan Leo Trepp dalam agama Yahudi.
Solusi yang ditawarkan oleh aliran kedua adalah pendekatan religious filosofis dan membela
eksistensi agama-agama. Bagi kelompok ini agama tidak bisa dirubah begitu saja
dengan mengikuti zaman globalisasi,
zaman modern ataupun postmodern yang telah meminggirkan agama
itu. Agama tidak bisa dilihat hanya dari perspektif
sosilogis ataupun histories dan
tidak pula dihilangkan identitasnya. Kelompok ini lalu memperkenalkan
pendekatan tradisional dan mengangkat konsep-konsep yang diambil secara parallel dari tradisi agama-agama. Salah
satu konsep utama kelompok ini adalah konsep Sophia Perrenis atau dalam bahasa Hindu disebut Sanata Dharma atau dalam Islam disebut al-Hikmah al-kha’idah. Konsep ini
mengandung pandangan bahwa di dalam setiap agama terdapat tradisi-tradisi sakral yang perlu dihidupkan dan
dipelihara secara adil, tanpa menganggap salah satunya lebih superior dari pada yang lain. Agama bagi
aliran ini adalah bagaikan berjalan-jalan yang mengantarkan ke puncak yang sama
(all paths lead to the same summit).
Tokoh pencetus dan pendukung paham ini adalah Rena Guanon (m. 1951), T. S.
Eliot (m. 1965), Titus Burckhardt (m. 1984), Fritjhof Schuon (m.1998), Ananda
K. Coomaraswamy (m. 1947), Martin Ling, Seyyed Hossein Nasr, Huston Smith,
Louis Massignon, Marco Pallis (m. 1989), Henry Corbin, Jean-Louis Michon, Jean
Cantein, Victor Danner, Joseph E. Brown, William Stoddart, Lord Northbourne,
Gai Eaton, W. N. Perry, G. Durand, E. F. Schumacher, J. Needleman, William C.
Chittick dan lain-lain.
Meskipun kajian-kajian di atas
telah merespon paham pluralisme agama
dengan menggunakan framework
pemikiran Islam, namun respon dari sumber yang lebih otoritatif masih diperlukan. Dan kajian pluralisme agama cenderung diwarnai oleh sikap anti-Barat. Namun kesan ini nampak tergesa-gesa dan
justru lebih cenderung merupakan sikap mental yang terbaratkan dari pada obyektif. Sebab paham pluralisme agama yang dibawa oleh arus
pemikiran globalisasi Barat modern dan
pos-modern ternyata juga menuai
kritik dari paham pluralisme agama
yang dimotivasi oleh keinginan untuk menghidupkan tradisi dalam agama-agama di
Timur. Dalam kondisi pemikiran yang problematik ini sangatlah bijaksana jika
kita tidak ke Barat dan tidak ke Timur, tapi kembali kepada Islam.
Pluralisme di Indonesia adalah
bentuknya modifikasi. Ada yang mengambil sebagian aliran global teologi dan sebagian mengambil dari Transendent Unity of Religions. Dan kedua aliran tersebut bertujuan
sama, yaitu: keberadaan agama-agama sama derajatnya. Tetapi aliran yang
diminati oleh kaum pluralis Indonesia
adalah aliran transendent unity of
religions. Sebab wacana agama Indonesia banyak dilatar belakangi
oleh konflik sosial dari pada konflik teologi.
1. Pluralisme Basis Relativisme
Kebenaran dogma menjadi salah satu perbincangan dalam masalah pluralisme
agama. Truth claim terhadap dogma
agama yang dipeluk para penganut agama-agama seakan mengusik kaum pluralis,
sehingga kaum pluralis menganjurkan kepada pemeluk agama untuk menganut paham
ini. Tetapi kaum pluralis sendiri memaknai pluralisme masih dalam perdebatan.
Pluralisme yang ada di Indonesia memiliki beberapa tipe, pada satu sisi
mengandung nilai-nilai toleransi, pada sisi yang lain mengandung nilai relativisme. Bahkan, sampai pada tingkat
nihilisme. Doktrin relativisme bermula dari Protagoras yang
berprinsip bahwa manusia adalah ukuran segala sesuatu (man is the measure of all things)[15].
Doktrin relativisme hanya
mengandalkan akal manusia, makna agama hanyalah tradisi. Agama tidak layak
dijadikan patokan/standarisasi nilai-nilai kebenaran yang absolute[16]. Kaum
relativis berkeyakinan yang absolute
hanya Tuhan[17], jadi
kebenaran agama hasil tafsiran manusia adalah relative dan tidak absolute.
Agama (Tuhan) memiliki keabsolutan kebenaran dan jika agama memasuki akal
manusia, maka wahyu tersebut akan menjadi pemikiran keagamaan, maka pemikiran
tersebut (representasi manusia
tentang agama) adalah relatif sebab
manusia sifatnya relatif[18].
Di samping itu, ternyata kita juga menyaksikan bagaimana penafsiran atas
sebuah agama (Islam) sendiri tidaklah tunggal. Dengan demikian upaya mempersamakan dan mempersatukan di bawah payung (satu
tafsir) agama menjadi kontradiktif. Pada gilirannya agama kemudian menjadi
sangat relatif ketika dijelmakan dalam praktik kehidupan sehari-hari[19].
Padahal dalam agama Islam keabsolutan itu bisa sampai tingkat
manusia, sebab manusia dibekali wahyu, akal, rasul atau khabar shadiq. Dan
akidah adalah bagian dari khabar shadiq yang diriwayatkan rasulullah kepada
sahabat-sahabatnya dan turun kepada ulama-ulama. Bisa kita bayangkan jika di
dunia ini semua relatif, maka hadis Nabi yang menganjurkan untuk mencegah
kemungkaran tidak akan berlaku lagi, sebab semua relatif, baik dan buruk
standarnya akal manusia.
Pluralisme berkaitan
erat dengan relativisme kebenaran,
sedangkan relativisme memandang,
bahwa semua keyakinan keagamaan, ideologi, dan pemikiran filosofis, sama-sama
mengandung kebenaran dan memiliki posisi yang sederajat. Jadi tidak ada
kebenaran yang mutlak yang dapat ditemukan dalam suatu agama karena memiliki
kapasitas yang sama[20].
Pluralis-relativisme
adalah gagasan yang menekankan, bahwa perbedaan dan kemajemukan adalah prinsip
yang tertinggi. Pemahaman pluralisme mengharuskan
manusia menghormati semua bentuk keanekaragaman dan perbedaan, dengan menerima
hal tersebut adalah bentuk dari menerima realitas yang sebenarnya. Dalam sikap
seorang pluralis bukan hanya berhenti
pada pluralitas, tetapi sikap
menerima pluralitas dengan sikap menerima pluralisme.
$pkr'¯»t
â¨$¨Z9$#
$¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz
`ÏiB
9x.s
4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä©
@ͬ!$t7s%ur
(#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r&
yYÏã «!$#
öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$#
îLìÎ=tã ×Î7yz ÇÊÌÈ
Hai manusia,
Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
lagi Maha Mengenal (Q.S. Al-Hujarat: 13)[21]
"….Kemajemukan atau pluralitas umat manusia adalah kenyataan yang telah menjadi
kehendak Tuhan. Jika dalam alqur’an disebutkan bahwa manusia diciptakan
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal dan menghargai,
maka pluralitas itu meningkat menjadi
pluralisme, yaitu suatu sistem nilai
yang memandang secara positif-optimis
terhadap kemajemukan itu sendiri, dengan menerimanya sebagai kenyataan
itu...."[22]
Maka dalam konteks ini
Nurcholish Madjid mengajak umat Islam menerapkan prinsip kenisbian ke dalam.
Prinsip untuk melepas klaim kemutlakan kebenaran, sehingga persaudaraan dapat
dibangun antar umat manusia. Melalui semangat persaudaraan diharapkan dapat
mengubah perbedaan-perbedaan sehingga dapat menjadi sumber positif dalam
berlomba-lomba menuju kebaikan. Kemudian, melalui persaudaraan sikap saling
menghormati akan tumbuh sehingga menghargai perbedaan antar umat dalam
kehidupan masyarakat akan terwujud, sebab perbedaan antar umat beragama adalah
hanya terletak pada ritual keagamaan dalam mengekspresikan patuh dan tunduk
kepada Allah Yang Maha Pencipta.
Hal ini juga sesuai dengan
pernyataan Ahmad Syafi’i Ma’arif, ”sekali pemahaman akan wahyu memasuki akal
manusia, siapa pun manusia itu, ia akan memasuki wilayah kenisbian. Tidak boleh
diklaim sebagai suatu kebenaran. Akal manusia tidak akan sampai mengetahui
hakekat kebenaran. Sehingga, konsekwensinya juga tidak bisa mengetahui hakekat
kebatilan. Akhirnya tidak boleh mengatakan bahwa apa yang diyakini oleh
seseorang benar atau batil[23].
Menurut Syamsul Hidayat Wakil
Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, pernyataan di atas akan sangat menyiksa
manusia dan menjadikan kekacauan kehidupan manusia, sebab tidak ada kejelasan
antara benar dan salah, ma`ruf dan mungkar, tauhid dan syirik, kesesatan dan petunjuk. Padahal banyak ayat-ayat alqur’an
dan sunnah yang menjelaskan tentang kriteria al-Haq dan al-Bathil, tauhid dan syirik, baik dan buruk. Kemudian Syamsul Hidayat mengatakan kesadaran akan relativitas akal, justru agar akal
tunduk kepada mutlak kebenaran wahyu
yang disajikan secara jelas oleh alqur’an dan sunnah kepada akal manusia.
Artinya relativitas akal tetap
disertai dengan kapasitas untuk mencapai kebenaran dan kebatilan secara pasti,
serta tunduk kepada ketentuan wahyu[24].
Jika umat Islam sudah tidak
lagi percaya kepada kriteria tauhid,
syirik, atau umat agama yang lain tidak percaya terhadap baik-buruk,
benar-salah, petunjuk-kesesatan dan lain sebagainya yang disebutkan dalam alqur’an
dan sunnah atau dalam agama selain Islam di kitabnya masing-masing yang
dianggap menjadi panduan ajaran agama, padahal alquran dan sunnah sebagai
pedoman umat Islam, kemudian tidak dianggap benar, kalau begitu apalagi yang bisa dijadikan pedoman?
Kaum pluralis yakin bahwa agama-agama adalah bentuk jalan menuju Tuhan.
Menurut Budhy Munawar Rachman, jalan menuju Tuhan itu adalah satu, tetapi
jalurnya banyak, atau jalur menuju keselamatan adalah memang banyak dan Tuhan
memanivestasikan dalam bentuk yang beraneka ragam dan bukan hanya pada satu
jalan.
Beliau juga mengutip ayat alqur’an
surat al-Hujurat: 49
Orang-orang
beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah
hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu
mendapat rahmat (Q.S.
Al-Hujurat:10)[25]
Menurut beliau ayat ini
menerangkan tentang perintah Allah untuk saling kompromi, saling take and give, dan tak ada yang boleh
mengklaim sebagai yang paling benar[26].
Pluralisme, masih
menurut Budhy Munawar Rachman, tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan
bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam tetapi pluralisme harus disikapi dengan teologia religionum (teologi agama-agama) dengan tujuan memasuki
dialog antaragama[27],
bahwa pendekatan terhadap agama-agama adalah melalui tiga jalur yaitu dengan
sikap eksklusif, inklusif dan paralelis[28].
Argumentasi pluralisme memakai QS. al-Hujurat
[49]:10 untuk persatuan, persaudaraan lintas agama adalah penafsiran yang penuh
hawa nafsu. Padahal dalam QS. Al-Imran ayat 19 sangat jelas, bahwa jalan menuju
Allah hanyalah Islam. Bagi yang tidak melaksanakan keislaman berarti kafir.
Islam secara teologis bersifat eksklusif
sedangkan dalam bermuamalat, bersosialisasi dengan masyarakat adalah inklusif. Tidak ada larangan untuk
menjalin hubungan dengan masyarakat selama tidak merugikan. Sebab nabi juga
bersosialisasi dengan masyarakat non muslim.
Makna pluralis dan pluralisme
kaum pluralis selalu meyamakan.
Senada pengkaburan tersebut Alwi Shihab juga berpendapat, Berbicara pluralisme artinya bukan satu, tetapi plural, banyak. Dan banyak itu artinya
berbeda, karena tidak ada yang sama. Maka kita harus bisa menghargai pendapat
orang lain, kemudian juga beliau berpendapat bahwa pluralisme itu respect terhadap
pendapat orang lain dan tidak memaksakan kehendak kelompok yang berbeda dengan
kita tapi yang seharusnya adalah saling interaksi dengan baik saling
menghormati khususnya ideologi agar terciptanya afinitas (daya gabung/hubungan erat)[29],
akan tetapi kalimat ini sangat kontradiksi dengan kalimat berikutnya. Alwi
Shihab diakhir tulisannya menulis. "....nilai-nilai pluralisme dalam Islam itu sangat kental, maka kita harus
mengembangkan nilai-nilai pluralisme ini
untuk menghormati pendapat orang lain dan tidak memaksakan pendapat
kita...."[30]
Menurut analisa penulis,
kalimat: "maka kita harus mengembangkan nilai-nilai pluralisme"
adalah merupakan kalimat untuk memaksakan pendapatnya kepada orang lain.
Kemudian juga Alwi Shihab juga menulis "mari kita kembangkan budaya ini,
kalimat ini sebenarnya bentuk kalimat yang tidak toleran terhadap orang-orang
yang mempertahankan eksklusifisme, padahal
dalam Islam tidak terdapat istilah tersebut. Teology Islam adalah eksklusif
sekaligus inklusif dalam kehidupan sosial.
2. Pluralisme Basis
Nihilisme
Pluralisme basis nihilisme adalah bahwa jika semua agama adalah sama benar maka logika terbaliknya
adalah tidak ada kebenaran dalam semua agama. Sehingga Ludwig Feuerbach
menunjukkan esensi agama terletak pada manusia[31],
sehingga Feuerbach memaknai agama hanyalah gambaran akan keinginan manusia yang
tak terbatas, yang dibentuk oleh manusia tentang dirinya sendiri dan tidak
lebih dari proyeksi hakikat manusia.
Agama itu hanya merupakan
perwujudan cita-cita: “Ilusi religius
yang terdiri dari suatu objek bersifat imanen pada pikiran kita menjadi
lahiriah[32], mewujudkannya,
mempersonifikasikannya. ”Atribut-atribut Ilahi merupakan perwujudan dari
predikat-predikat manusiawi, yang tidak sesuai dengan individu manusia sebagai
individu, Allah yang kekal, itulah akal budi manusia dengan coraknya yang
bersifat mutlak yang sekali lagi merupakan hasil proyeksi manusia. Agama
merupakan kesadaran yang tidak terhingga.
Jadi Tuhan tidak lebih
daripada manusia: dengan kata lain, ia adalah proyeksi luar dari hakikat batin
manusia sendiri. Bisa juga dikatakan bahwa Tuhan ada dalam tiap manusia, dan
manusia adalah bentuk luar dari Tuhan. Tuhan bukan lagi Zat Yang Maha Kuasa
tapi merupakan akal kolektif manusia. Sarana komunikasi Tuhan bukan melalui
wahyu melainkan dalam bahasa nasional. Manusia tidak butuh dengan Tuhan sebab
manusia dapat menyelesaikan masalah dunia tanpa dengan Tuhan[33].Jika
demikian berarti manusia tidak butuh agama, sebab manusia adalah proyeksi atau
gambaran Tuhan itu sendiri. Jika manusia adalah Tuhan apa fungsi agama bagi
manusia? Sehingga demikian manusia tidak butuh agama. Dan agama-agama yang ada
hanyalah aturan-aturan yang tidak bermakna.
Selain Feuerbach dengan ateisme antropologisnya maka Karl Marx
dengan ateisme sosio-politis bahwa
agama itu candu bagi masyarakat (religion
is the opium of the people). Pendapat Marx ini adalah menerangkan bahwa
dengan adanya agama maka struktur masyarakat tidak sehat. Agama menurut Marx
adalah hanya khayalan membuat manusia terlena[34].
Agama bagaikan eskapisme untuk keluar
dari dunia nyata ke dunia khayalan. Agama singkatnya adalah sesuatu yang tidak
riil.
Pada pemikiran ini menyatakan
bahwa, kebenaran sejatinya tidak ada, sebab dari pemahaman tentang kebenaran adalah sama benarnya. Karena
kebenaran sama benarnya atau bisa jadi semua kebenaran adalah sama salahnya,
itu berarti kebenaran itu tidak ada. Selain itu juga kaum pluralis menganggap bahwa toleransi jika tidak dibarengi dengan
sikap pluralisme itu bukanlah sikap
toleransi sejati. Seorang pluralis
sejati memaknai pluralisme dengan
kesamaan dan kesetaraan dalam segala hal, termasuk beragama. Setiap pemeluk
agama harus memandang sama pada semua agama dan pemeluknya. Kaum pluralis juga beranggapan bahwa umat
beragama jika tidak mengaplikasikan pluralisme
dalam keagamaanya berarti toleran atau intoleran terhadap pemeluk agama yang
lain.
Kaum pluralis juga berusaha untuk
menghilangkan otoritatif teolog,
ulama dan lain sebagainya, sebab mereka beranggapan akal kolektif manusia yang
berhak untuk memaknai sesuatu. Hal ini sesuai dengan pendapat Musdah Mulia
disaat diwawancarai oleh Najwa Shihab di Metro TV 21 April 2010. Menurut Musdah
Mulia bahwa yang berhak menafsirkan dan mendefinisikan agama adalah elemen
masyarakat dan kesepakatan bersama, kemudian juga Musdah beranggapan bahwa
Islam harus sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, Prinsip NKRI dan prinsip-prinsip
Bhinneka Tunggal Ika sebab Islam berada di Indonesia. Dari ungkapan beliau ini
jelas bahwa nilai-nilai agama direduksi menjadi nilai kebangsaan, nilai-nilai
agama diganti dengan kesepakatan bersama.
3. Pluralisme Basis Theosofis
Theosofis[35] merupakan organisasi aliran kebatinan,
wadah studi, dan pemahaman mengenai kebijaksanaan Ilahi yang tersirat di alam
raya ini. Menurut Artawijaya yang menulis Gerakan Theosofi di Indonesia, bahwa antara freemasonry dan theosofi adalah satu tujuan dan hanya
beda nama[36].
Inti ajaran dari theosofi adalah agama apapun selama
menjunjung tinggi kemanusiaan dan menebarkan kebajikan adalah pada hakekatnya
sama. Tidak ada yang lebih tinggi kedudukannya dari pada kebenaran. Inilah
ajaran teosofi dalam memandang agama.
Bahkan dalam lambang theosofi
terdapat motto organisasi yang berbunyi, "There
is no relegion higher than truth", atau dalam bahasa sangsekerta, "Satyan nasti paroh darma"
yang berarti "Tidak ada agama yang lebih tinggi daripada kebenaran".
Dari motto organisasi ini
bermakna masing-masing agama tidak bisa mengklaim bahwa agamanyalah yang mutlak
benar (absolute truth claims). Karena
menurut mereka kebenaran tidak berbentuk tunggal dan kebenaran terdapat dalam
agama-agama selama menjalankan kebaikan dan kebenaran. Dan inilah yang menjadi dasar para pengikut pluralisme agama di Indonesia. menurut
kaum theosof bahwa setiap kehidupan
dan makhluk di alam ini ada zat Tuhan yang menyatu serta alam dan seisinya
bukanlah diciptakan melainkan terpancar dari zat Tuhan. Jadi dari setiap
individu manusia memiliki zat Tuhan yang bersemayam dalam hati dan jantung
manusia[37].
Gerakan theosofi yang dirumuskan Anie Besant salah satunya adalah membentuk
suatu inti persaudaraan universal
kemanusiaan, tanpa membeda-bedakan ras (bangsa), kepercayaan, jenis kelamin,
kasta atau warna kulit[38].
Kata-kata ini seakan indah tetapi memiliki tujuan yang berbeda. Padahal dalam
Islam persaudaraan berdasarkan keimanan[39],
dan ditegaskan kembali dalam QS. al-Mujadalah: 22[40]
Di antara sarjana muslim
Indonesia yang terpengaruh dengan ide-ide Theosofi
adalah Komarudin Hidayat. Disalah satu karyanya beliau menulis:
Kebenaran abadi yang universal akan selalu ditemukan pada setiap agama, walaupun
masing-masing tradisi agama memiliki bahasa dan bungkus yang berbeda-beda.
Karena perbedaan bungkus inilah maka kesulitan, kesalahpahaman dan perselisihan
antar pemeluk agama seringkali muncul ke permukaan. Pada tahap ini, agama
muncul dengan ragam wajah dan ragam bahasa sementara kita cenderung melihat perbedaannya
ketimbang persamaanya[41].
Jika dicermati kalimat di atas, bahwa
Komaruddin Hidayat meyakini bahwa kebenaran dapat ditemukan pada setiap agama.
Keberagaman agama-agama hanyalah bentuk bungkus, kulit luar dan tradisi yang
berbeda dari tiap agama-agama, akan tetapi isi ajaran agama adalah sama.
Kemudian masih dalam buku yang sama, Komaruddin mengatakan, "secara empiris adalah suatu kemustahilan jika
kita mengidealisasikan munculnya kebenaran tunggal yang tampil dengan format
dan bungkus tunggal, lalu ditangkap oleh manusia dengan pemahaman serta
keyakinan yang seragam dan tunggal pula"[42]
Di sinilah Komaruddin menyangsikan akan adanya sebuah kebenaran dalam bentuk
tunggal. Keberagaman tersebut merupakan kebenaran. Dan kebenaran terdapat pada
tiap-tiap sesuatu yang tidak tunggal. Dan ini berarti beliau meragukan
kebenaran agama Islam dan kesempurnaan ajaran.
Zuhairi Misrawi Intelektual Muda NU dan Ketua Moderate Muslim Society. Dalam
tulisannya di Kompas mengatakan:
Pluralisme pertama-tama dimulai dari kesadaran
tentang pentingnya perbedaan dan keragaman. Sebab perbedaan merupakan fitrah
yang harus dirayakan dan dirangkai menjadi kekuatan untuk membangun harmoni.
Adapun anggapan bahwa pluralisme akan
menjadi sinkretisme merupakan
pandangan yang cenderung mengada-ada. Faktanya, pluralisme dan sinkretisme
sangat tidak identik.[43]
Di sini Zuhairi Misrawi
mengajak untuk sadar terhadap perbedaan dan keragaman merupakan fitrah manusia.
Fatwa keagamaan berupa penyesatan dan pengharaman terhadap kelompok minoritas dalam intra-agama sepanjang
tahun 2009 juga menjadi tantangan serius. Fatwa tersebut dapat digunakan untuk
melakukan tindakan hukum yang dapat dianggap sebagai diskriminasi dan kriminalisasi
terhadap kelompok minoritas.
Fatwa tersebut kerap kali dijadikan sebagai landasan untuk melarang kegiatan
dan memejahijaukan mereka dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965
dan KUHP Pasal 156a tentang penodaan agama. Di samping itu, kelompok minoritas harus mendapatkan perlakukan
tidak manusiawi oleh sekelompok masyarakat yang tidak beridentitas, baik
penyerangan maupun pengusiran[44].
Di sini tampak jelas bahwa
Zuhairi menolak fatwa MUI terhadap Ahmadiyah, Lia Eden atau aliran-aliran sesat
yang lainnya, bahkan Zuhairi mendukung keberadaannya. Sebab pemikiran Zuhairi
lahir dari keyakinannya bahwa tidak ada truth
claim. Masing-masing orang bebas mengekpresikan keyakinannya dalam
beragama. Setiap individu memiliki pendapat akan kebenaran. Hal ini searah
dengan ajaran theosofi yang
mengajarkan bahwa manusia sejati adalah kebenaran dan kebenaran menurut theosofi tidak dapat dimonopoli. Setiap
orang mempunyai kebenaran dan kenyataan sendiri[45].
4. Pluralisme Bukan Toleransi
Jika pluralisme ini dianggap sebagai cara bertoleransi terhadap penganut
agama lain, maka Diana L. Eck membantah pendapat tersebut dalam tulisannya What is pluralisme,"nieman reports God
in the newsroom issue" bahwa pluralisme
tidak hanya bermakna toleransi, tetapi merupakan pencarian secara aktif guna
memahami aneka perbedaan (the encounter
of commitments) dengan kata lain mengharapkan kesamaan dalam agama-agama[46].
Hal ini juga senada dengan
Syafi`i Anwar Direktur International
Centre for Islam and Pluralism (ICIP) mengatakan bahwa: pluralisme itu mengakui keberagamaan
orang lain, tanpa harus setuju. Selain itu, yang terpenting, bukan sekadar
menjadi toleran, melainkan menghormati ajaran agama orang lain. Dan sadar betul
bahwa keberagamaan orang lain itu bagian yang sangat fundamental dan inheren dengan
hak asasi manusia[47],"
juga mengatakan konsep pluralisme yang
tidak sekadar toleransi, tetapi lebih menuju kepada penghormatan (respect) kepada yang lain (the others)[48]
Dalam konsep Islam mengakui
perbedaan dan identitas agama-agama, tetapi tidak sampai pada tingkat
pembenaran terhadap teologinya. Islam
tetap mengakui kesalahan teologi
agama yang lain bahkan sampai tingkat mengoreksi, tetapi Islam juga tidak
memaksakan mereka untuk masuk Islam. Islam juga membiarkan agama selain Islam
untuk melaksanakan ritual agamanya, selama tidak mengganggu agama Islam. Ini
berarti Islam tidak mentolerir persamaan agama (lakum dinukum wa liyadin)[49].
H. Penutup
Pluralisme tidak dapat dipahami
hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri
dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekedar sebagai
kebaikan negatif (negatif good), hanya
ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme. Pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati
kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban, bahkan pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat
manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang
dihasilkannya.
DAFTAR BACAAN
Arif, Syamsyuddin., Orientalis & Diabolisme Pemikiran, Jakarta:
Gema Insani, 2008.
Artawijaya, Gerakan Theosofi di
Indonesia, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010.
Aslan, Adnan., Pluralisme Agama dalam Filsafat Islam dan
Kristen Seyyed Hossein Nasr dan John Hick, (terj) Munir, Bandung: Alifya, 2004.
Baso, Ahmad dalam Sururin (ed), Nilai-nilai
Pluralisme dalam Islam, Bandung: Kerjasama Fatayat NU dan The Ford
Foundation, 2005.
Biyanto., Pluralisme Keagamaan
dalam perdebatan Pandangan Kaum Muda MuhamMadiyah, Malang: UMMPRESS, 2009.
Budiman, Arief., dalam Dialog Kritik dan Identitas Agama, Seri
Dian I/Tahun I Yogyakarta: Dian/Interfidei, 1993.
Cholil, Suhadi (ed), Resonansi
Dialog Agama dan Budaya, Yogyakarta: CRCS (Centre for Religious & Cross-cultural Studies) 2008.
Ghazali, Abd Ghazali., Argumen
Pluralisme Agama, Depok: Katakita, 2009.
Hick, John dan Bebblethwaite,
Brian (eds.), Philosophy of Religion,
Prentice Hall, 1990.
Hidayat, Komaruddin dan Nafis, Muhamad Wahyu., Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perenial, Jakarta: Gramedia,
2003.
Husaini, Adian dan Hidayat, Nuaim., Islam Liberal Sejarah Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabanya,
Jakarta: Gema Insani, 2002.
______________, Pluralisme Agama Parasit Bagi Agama-Agama,
Jakarta: Media Da`wah, 2006,
Islmail, Faisal., Sekulerisasi Membongkar Kerancuan Pemikiran
Nurcholish Madjid, Yogyakarta: Pessantren Nawasea, 2008.
Katimin, Politik Masyarakat Pluralis, Bandung:
Citapustaka, 2010.
______, Isu-Isu Islam Kontemporer, Bandung:
Citapustaka, 2006.
Lagenhausen, Muhammad.,
(terj) Arif Muladi, Satu Agama atau
Banyak Agama, Jakarta: Lentera, 2002.
Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan
Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1995.
________________, Islam Agama
Peradaban, Jakarta: Paramadina, 2000.
Mulkhan, Abdul Munir., Satu
Tuhan Beribu Tafsir, Yogyakarta:
Kanisius, 2007.
Munawar-Rahman, Budhy., Islam Pluralis Wacana Kesetaraan Kaum
Beriman, Jakarta: Raja Grafindo Persada 2004.
Nasr, Sayyed Hossein., Knowledge
and The Sacred, Albany: State University of New York, 1989
Qodir, Zuly., Islam Liberal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, (Edisi Revisi) 2007.
__________, Muhammadiyah dan Pluralisme Agama,"
dalam Pluralisme dan Liberalisme: Pergolakan Pemikiran Anak Muda Muhammadiyah,
(ed.) Imron Nasri, Jogjakarta: Citra
Karsa Mandiri, 2005.
Saiyad Fareed Ahmad dan
Saiyad Salahuddin Ahmad, (terj) Rudy Alam, 5 Tantangan Abadi Terhadap Agama dan Jawaban Islam Terhadapnya, Bandung:
Mizan, 2008.
Shihab, Alwi., Islam Inklusif,
Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Bandung: Mizan, 1997.
Subkhan, Imam., Hiruk Pikuk
Wacana Pluralisme di Yogya, Yogyakarta: Kanisius, 2007.
Sunardi, St. Dialog: Kritik dan Identitas Agama, Yogyakarta:
Dian/Interfidei, 1993.
Sururin (ed), Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam, Bandung:
Fatayat NU dan The Ford Foundation, 2005.
Thoha, Anis Malik., Tren Pluralisme Agama, Tinjauan Kritis, Jakarta:
Perspektif 2005.
Wahid, Abdurrahman (ed), Dialog Pemikiran Islam Realitas Empirik,
Yogyakarta: LKPSM NU 1993.
Zarkasyi, Hamid Fahmy., Paham
Pluralisme Agama, Makalah disampaikan pada Acara Training Da'i tetang
Aqidah dan Pemikiran Islam, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, di Cilegon
Banten, pada Ahad, tanggal 27 Mei 2007.
____________________, Liberalisasi
Pemikiran Islam, Ponorogo, Centre for Islamic and Occidental Studies
(CIOS), 2007.
DAFTAR ISI
Halaman
A. Pendahuluan …………………………………………………...… 1
B. Arti Pluralitas dan Pluralisme …………………………………..…. 2
C. Latar Belakang Munculnya Gerakan Pluralisme di Indonesia ……… 3
D. Beda Pemahaman (Sisi Positif
& Negatif Pluralisme) ………………... 4
E. Alqur’an dan Pluralisme …………………………………..…………..
7
F.
Tantangan dan Hambatan Pluralisme ………………........................ 11
G. Pemikiran Islam dan Praktik Pluralisme di Indonesia ………………...
14
1. Pluralisme Basis Relativisme …………………………………..…. 17
2. Pluralisme Basis Nihilisme …………………………………..…. 22
3. Pluralisme Basis Theosofis …………………………………..…. 24
4. Pluralisme Bukan Toleransi …………………………………..…. 28
H. Penutup ……………………………………………………………...
29
Daftar Bacaan
[1]
Katimin, Isu-isu Islam Kontemporer, (Bandung:
Citapustaka Media, 2006), h. 213.
[2] Ibid, h. 213.
[3] Ibid, h. 216.
[4] Ibid, h. 216.
[5]
Lihat, Michael Fathers et, Pembantaian
Tiannanmen Tragedi Sebuah Gerakan Moral, (Jakarta: Pustaka Grafiti, 1990),
h. 87.
[6] Abdul Rohim Ghazali (dkk), 70 Tahun Ahmad Syafi’I Ma’arif: Muhammadiyah & Politik Islam
Inklusif, ((Malang: UMMPRESS, 2009), h. 42.
[7]
http://www.suaramerdeka.com/harian/10/01/11/nas12.htm
[8]
Q.S. Yunus: 99.
[9]
Q.S. An-Nahl: 93.
[10]
Q.S. Al-Kafirun: 4.
[11] Q.S.
Al-Baqarah: 256.
[12] Ibid.
[13]
Q.S. Al-Imran: 85.
[14] Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam, (Ponorogo:
Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS), 2007), hal. 92-98
[16] "Ke depan
diperlukan langkah-langkah yang terencana dan sistemik untuk mereposisi peran
agama di dalam masyarakat Indonesia. Agama jangan lagi dijadikan sebagai alat
control, terlebih lagi sebagai alat untuk mendominasi". Siti Musdah Mulia,
dalam Sururin (ed), Nilai-nilai
Pluralisme dalam Islam, (Bandung: Fatayat NU dan The Ford Foundation, 2005)
hal. 238-239.
[17] Ahmad Syafi’i Ma’arif,
mantan Ketua PP Muhammadiyah, menyatakan, ”sekali pemahaman akan wahyu memasuki
akal manusia, siapapun manusia itu, ia akan memasuki wilayah kenisbian. Tidak
boleh diklaim sebagai suatu kebenaran. Akal manusia tidak akan sampai
mengetahui hakekat kebenaran. Sehingga, konsekwensinya juga tidak bisa
mengetahui hakekat kebatilan. Akhirnya tidak boleh mengatakan bahwa apa yang
diyakini oleh seseorang benar atau batil. Menurut pernyataan beliau ini, bahwa
kebenaran absolute hanya dimiliki oleh Tuhan. Jika wahyu Tuhan telah memasuki
akal manusia, maka kebenaran itu menjadi relative dan nisbi, sebab manusia
sifatnya adalah relative. Syafii Maarif, "Mutlak
dalam Kenisbian", Republika 29/12/2006., lihat
http://ponpes-almukhtar.blogspot.com dikutip tanggal 20 Desember 2010
[18]
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan
Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2000), hal. 328-329. Membedakan antara
agama dan pemikiran agama. Menurut beliau, agama adalah absolut sebab datang
dari Tuhan, sedangkan pemikiran agama adalah relatif sebab telah masuk ke
akal/pemahaman manusia, dan manusia adalah relatif.
[19] M. Khoirul Muqtafa, dalam
Sururin (ed), Nilai-nilai Pluralisme
dalam Islam, h. 240.
[20]
Biyanto, Pluralisme Keagamaan dalam Perdebatan,
(Malang: UMMPress, 2009), hal. 170.
[21]
Q.S. Al-Hujarat: 13.
[22] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, hal. 329.
[23] Ahmad Syafi’i Ma’arif,
"Mutlak dalam Kenisbian", Republika 29/12/2006, (Diakses, 20 Desember
2010)
[24] http://no-liberal.blogspot.com/
dikutip tanggal 20 Desember 2010
[25]
Q.S. Al-Hujarat: 10.
[26] Budhy Munawar-Rahman, Islam Pluralis Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada 2004), h. 37
[27] Ibid, h. 39-40.
[28] Eksklusif, adalah pandangan bahwa agama adalah satu-satunya jalan
yang sah untuk keselamatan. Jika dalam Katolik terdapat ajaran extra
ecclesiam nulla salus atau extra
ecclesiam nullus propheta. Pandangan ini dikukuhkan pada konsili 1442. di antara
para tokoh Protestan yang berpandangan ini adalah Karl Barth dan Hendrick
Kraemer jika dalam agama Islam QS. al-Maidah [5]: 3, QS. al-Imron [3]: 85 dan
QS al-Imron [3]: 19.
Inklusif adalah pandangan yang membedakan antara kehadiran
penyelamatan (the salvific presence)
dan aktivitas Tuhan dalam tradisi agama-agama lain, dengan penyelamatan dan
aktivitas Tuhan. Artinya dalam agama-agama lain terdapat jalan keselamatan
(kebenaran) tetapi agama yang diyakininya adalah jalan yang terbaik untuk
meraih keselamatan (kebenaran). Dalam agama Katolik teologi ini muncul setelah
Konsili Vatikan II tahun 1965. untuk menguatkan argumentasinya ini lihat QS. al-Maidah
[5]: 48
Paralelisme adalah sikap petengahan antara eksklusif dan inklusif.
Yaitu, pandangan yang mempercayai bahwa
setiap agama memiliki jalan keselamatannya sendiri-sendiri bukan agamanya yang
paling memiliki kebenaran (eksklusif)
atau agama lain adalah sebagai pelengkap agamanya (inklusif) atau setiap agama merupakan jalan-jalan yang sama menuju
pada kebenaran. Sikap ini oleh John Hick disebut dengan Plularisme dalam bukunya God
and the Universe of Faiths, Lihat
Budhy Munawar-Rahman, Islam
Pluralis Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, hal. 56-66.
[29] Alwi Shihab, dalam Sururin (ed) kata pengantar, Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam, h.
17
[30] Ibid, h. 20.
[31] St. Sunardi, Dialog: Kritik dan Identitas Agama, (Yogyakarta: Dian/Interfidei 1993), h.
69.
[32]http://edukasi.kompasiana.com/2010/12/20/konsep-proyeksi-sang-filsuf-ateis-ludwig-feuerbach.
[33] Hamid Fahmy Zarkasyi, Agama
Dalam Pemikiran Barat dan Post-Modern, (Jakarta: Islamia, 2005), h. 38
[34]
http://www.duniaesai.com/filsafat/fil11.(Diakses,
20 Desember 2010)
[35] Theosofis terdiri dari dua suku kata "theos" (Allah) dan "Sophia"
(kebijaksanaan). Pencarian pengetahuan yang tidak didapatkan dengan panca
indera tetapi dengan merenung. Menurut ajaran teosofi, manusia tidak membutuhkan Allah. Ia harus mencari
kesempurnaan sendiri. Alam semesta, jadi juga manusia, adalah penampakan dari
Allah. Manusia harus mencari kesempurnaan. Kesempurnaan ini tidak dicapai dalam
satu hidup. Jiwa tidak binasa kalau orang mati. Tapi jiwa ini akan pindah
menjadi hal lain. Kalau orang hidup baik, jiwanya akan menjadi hal yang lebih
tinggi, kalau ia hidup jahat, ia menjadi hal yang lebih rendah. Inilah ajaran reinkarnasi. Jadi setiap hal menerima sepadan
dengan jasa-jasanya sendiri, baik atau jahat (hukum karma). Kesempurnaan
dicapai sebagai yang tertinggi yang disebut nirwana. R. Soedarmo, Kamus Istilah Teologi, (Jakarta: Gunung
Mulia, 1994), h. 95.
[36]
Artawijaya, Gerakan Theosofi di Indonesia (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2010),h.16.
[38] Iskandar P. Nugraha,
Mengikis batas Timur dan Barat: Gerakan Theosofi dan Nasionalisme Indonesia,
Lihat, Adian Husaini dan Nuaim Hidayat, Islam Liberal Sejarah Konsepsi,
Penyimpangan dan Jawabanya, (Jakarta: Gema Insani, 2002)., hal.124.
[39]
"Orang-orang
beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah
hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu
mendapat rahmat." QS Al-Hujurat: 10
[40] Kamu tak akan mendapati
kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan
orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu
bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.
Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan
menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan
dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai,
mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa
puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah,
bahwa sesungguhnya hizbullah itu
adalah golongan yang beruntung." QS Al-Mujadalah: 22
[41]
Komaruddin Hidayat
dan Muhamad Wahyu Nafis, Agama Masa Depan
Perspektif Filsafat Perenial, (Jakarta: Gramedia, 2003), h. 130.
[42] Ibid, h. 132.
[43] Zuhairi Misrawi, Pluralisme Pasca Gus Dur, http://cetak.kompas.com tanggal 04 Januari
2010
[44] Ibid.
[45] Artawijaya, Gerakan
Theosofi di Indonesia, h. 60.
[47] Syafi`i Anwar, Disertasi: Negara dan Islam Politik di Indonesia: Sebuah
Studi Politik Negara dan Perilaku Politik Pemimpin Muslim Modernis di Bawah
Rezim Orde Baru Soeharto 1966-1998”. h. 65.
[48]
http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/s/syafii-anwar/berita/01.shtml
dikutip tanggal 20 Desember 2010
[49] Henri Shalahuddin, Al-Kafirun, Islamia Jurnal Pemikiran
Islam Republika, 14 Januari 2010. Kholili Hasib, Kerancuan Wacana Titik Temu Agama, diterbitkan oleh www.hidayatullah.com
pada tanggal 25 Juli 2009 dan dikutip pada tanggal 20 Desember 2010.
0 komentar:
Post a Comment